Sejarah Kota Palembang (1/10)
Kota Palembang merupakan kota tertua di Indonesia berumur setidaknya 1382 tahun jika berdasarkan prasasti Sriwijaya yang dikenal sebagai prasasti Kedudukan Bukit. Menurut Prasasti yang berangka tahun 16 Juni 682. Pada saat itu oleh penguasa Sriwijaya didirikan Wanua di daerah yang sekarang dikenal sebagai kota Palembang. Menurut topografinya, kota ini dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut bersumber baik dari sungai maupun rawa, juga air hujan. Bahkan saat ini kota Palembang masih terdapat 52,24 % tanah yang yang tergenang oleh air (data Statistik 1990). Berkemungkinan karena kondisi inilah maka nenek moyang orang-orang kota ini menamakan kota ini sebagai Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai kata tunjuk suatu tempat atau keadaan; sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah, lembah akar yang membengkak karena lama terendam air (menurut kamus melayu), sedangkan menurut bahasa melayu-Palembang, lembang atau lembeng adalah genangan air. Jadi Palembang adalah suatu tempat yang digenangi oleh air.
Kondisi alam ini bagi nenek moyang orang-orang Palembang menjadi modal mereka untuk memanfaatkannya. Air menjadi sarana transportasi yang sangat vital, ekonomis, efisien dan punya daya jangkau dan punya kecepatan yang tinggi. Selain kondisi alam, juga letak strategis kota ini yang berada dalam satu jaringan yang mampu mengendalikan lalu lintas antara tiga kesatuan wilayah:
- Tanah tinggi Sumatera bagian Barat, yaitu : Pegunungan Bukit Barisan.
- Daerah kaki bukit atau piedmont dan pertemuan anak-anak sungai sewaktu memasuki dataran rendah.
- Daerah pesisir timur laut.
Ketiga kesatuan wilayah ini merupakan faktor setempat yang sangat mementukan dalam pembentukan pola kebudayaan yang bersifat peradaban. Faktor setempat yang berupa jaringan dan komoditi dengan frekuensi tinggi sudah terbentuk lebih dulu dan berhasil mendorong manusia setempat menciptakan pertumbuhan pola kebudayaan tinggi di Sumatera Selatan. Faktor setempat inilah yang membuat Palembang menjadi ibukota Sriwijaya, yang merupakan kekuatan politik dan ekonomi di zaman klasik pada wilayah Asia Tenggara. Kejayaan Sriwijaya diambil oleh Kesultanan Palembang Darusallam pada zaman madya sebagai kesultanan yang disegani dikawasan Nusantara
Sriwijaya, seperti juga bentuk-bentuk pemerintahan di Asia Tenggara lainnya pada kurun waktu itu, bentuknya dikenal sebagai Port-polity. Pengertian Port-polity secara sederhana bermula sebagai sebuah pusat redistribusi, yang secara perlahan-lahan mengambil alih sejumlah bentuk peningkatan kemajuan yang terkandung di dalam spektrum luas. Pusat pertumbuhan dari sebuah Polity adalah entreport yang menghasilkan tambahan bagi kekayaan dan kontak-kontak kebudayaan. Hasil-hasil ini diperoleh oleh para pemimpin setempat. (dalam istilah Sriwijaya sebutannya adalah datu), dengan hasil ini merupakan basis untuk penggunaan kekuatan ekonomi dan penguasaan politik di Asia Tenggara.
Ada tulisan menarik dari kronik Cina Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau Ju-Kua pada abad ke 14, menceritakan tentang Sriwijaya sebagai berikut :Negara ini terletak di Laut selatan, menguasai lalu lintas perdagangan asing di Selat. Pada zaman dahulu pelabuhannya menggunakan rantai besi untuk menahan bajak-bajak laut yang bermaksud jahat. Jika ada perahu-perahu asing datang, rantai itu diturunkan. Setelah keadaan aman kembali, rantai itu disingkirkan. Perahu-perahu yang lewat tanpa singgah dipelabuhan dikepung oleh perahu-perahu milik kerajaan dan diserang. Semua awak-awak perahu tersebut berani mati. Itulah sebabnya maka negara itu menjadi pusat pelayaran.
Tentunya banyak lagi cerita, legenda bahkan mitos tentang Sriwijaya. Pelaut-pelaut Cina asing seperti Cina, Arab dan Parsi, mencatat seluruh perisitiwa kapanpun kisah-kisah yang mereka lihat dan dengan. Jika pelaut-pelaut Arab dan Parsi, menggambarkan keadaan sungai Musi, dimana Palembang terletak, adalah bagaikan kota di Tiggris. Kota Palembang digambarkan mereka adalah kota yang sangat besar, dimana jika dimasuki kota tersebut, kokok ayam jantan tidak berhenti bersahut-sahutan (dalam arti kokok sang ayam mengikuti terbitnya matahari). Kisah-kisah perjalanan mereka penuh dengan keajaiban 1001 malam. Pelaut-pelaut Cina mencatat lebih realistis tentang kota Palembang, dimana mereka melihat bagaimana kehiduapan penduduk kota yang hidup diatas rakit-rakit tanpa dipungut pajak. Sedangkan bagi pemimpin hidup berumah ditanah kering diatas rumah yang bertiang. Mereka mengeja nama Palembang sesuai dengan lidah dan aksara mereka. Palembang disebut atau diucapkan mereka sebagai Po-lin-fong atau Ku-kang (berarti pelabuhan lama).Setelah mengalami kejayaan diabad-abad ke-7 dan 9, maka dikurun abad ke-12 Sriwijaya mengalami keruntuhan secara perlahan-lahan. Keruntuhan Sriwijaya ini, baik karena persaingan dengan kerajaan di Jawa, pertempuran dengan kerajaan Cola dari India dan terakhir kejatuhan ini tak terelakkan setelah bangkitnya bangkitnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam yang tadinya merupakan bagian-bagian kecil dari kerajaan Sriwijaya, berkembang menjadi kerajaan besar seperti yang ada di Aceh dan Semenanjung Malaysia.
Dari sisa Kerajaan Sriwijaya tersebut tinggalah Palembang sebagai satu kekuatan tersendiri yang dikenal sebagai kerajaan Palembang. Menurut catatan Cina raja Palembang yang bernama Ma-na-ha Pau-lin-pang mengirim dutanya menghadap kaisar Cina tahun 1374 dan 1375.Maharaja ini barangkali adalah raja Palembang terakhir, sebelum Palembang dihancurkan oleh Majapahit pada tahun 1377. Berkemungkinan Parameswara dengan para pengikutnya hijrah ke semenanjung, dimana ia singgah lebih dulu ke pulau Temasik dan mendirikan kerajaan Singapura. Pulau ini ditinggalkannya setelah dia berperang melawan orang-orang Siam. Dari Singapura dia hijrah ke Semenanjung dan mendirikan kerajaan Melaka. Setelah membina kerajaan ini dengan gaya dan cara Sriwijaya, maka Melaka menjadi kerajaan terbesar di nusantara setelah kebesaran Sriwijaya.Palembang sendiri setelah ditinggalkan Parameswara menjadi chaos. Majapahit tidak dapat menempatkan adipati di Palembang, karena ditolak oleh orang-orang Cina yang telah menguasai Palembang. Mereka menyebut Palembang sebagai Ku-Kang dan mereka terdiri dari kelompok-kelompok cina yang terusir dari Cina Selatan, yaitu dari wilayah Nan-hai, Chang-chou dan Changuan-chou.
Meskipun setiap kelompok ini mempunyai pemimpin sendiri, tetapi mereka sepakat menolak pimpinan dari majapahit dan mengangkat Liang Tau-ming sebagai pemimpin mereka.Pada masa ini Palembang dikenal sebagai wilayah yang menjadi sarang bajak laut dari orang-orang Cina tersebut. Tidak heran jika toko sejarah dan legendaris dari Cina, yaitu Laksamana Chen-ho terpaksa beberapa kali muncul di Palembang guna memberantas para bajak laut ini. Pada tahun 1407 setelah kembali dari pelayarannya dari barat, Chen-ho sendiri telah menangkap toko bajak laut dari Palembang yaitu Chen Tsui-i. Chen-ho membawa bajak laut ini kehadapan kaisar, kemudian dihukum pancung ditengah pasar ibukota. Namun beberapa toko bajak laut di lautan cina seperti Chin Lien, pada tahun 1577 telah bersembunyi di Palembang dan kemudian menjadi pedagang yang disegani di Palembang. Chiang Lien sebagai pengawas perdagangan untuk cina. sebetulnya kedudukan ini adalah suatu jabatan yang disahkan oleh kaisar dan mempunyai wewenang mengatur hukum, imbalan, penurunan ataupun kenaikan (promosi) bagi warga Cina di Palembang. Dapat dibayangkan bahwa kekuasaan orang-orang Cina di Palembang hampir 200 tahun.
Masa Kesultanan Palembang
Menurut Tomec Pires yang menulis sekitar tahun kejatuhan Melaka, menyatakan bahwa pupusnya pengaruh Majapahit dan Cina du Palembang adalah akibat kebangkitan Islam di wilayah Palembang sendiri. Situasi dan kondisi ini menempatkan Palembang menjadi wilayah perlindungan Kerajaan Islam Demak sekitar tahun 1546, yang melibatkan Aria Penangsang dari Jipang dan Pangeran Hadiwijaya dari Pajang, dimana kematian Aria Penangsang membuat para pengikutnya melarikan diri ke Palembang.Para pengikut Aria Jipang ini membuat ketakutan baru dengan mendirikan Kerajaan Palembang. Tokoh pendiri Kerajaan Palembang adalah Ki Gede Ing Suro. Keraton pertamanya di Kuto Gawang, pada saat ini situsnya tepat berada di komplesk PT. Pusri. Dimana makam Ki Gede Ing Suro berada di belakang Pusri.Dari bentuk keraton Jawa di tepi sungai Musi, para penguasanya beradaptasi dengan lingkungan melayu di sekitarnya. Terjadilah suatu akulturasi dan asimilasi kebudayaan jawa dan melayu, yang dikenal sebagai kebudayaan Palembang. Ki Mas Hindi adalah tokoh kerajaan Palembang yang memperjelas jati diri Palemban, memutus hubungan ideologi dan kultural ddengan pusat kerajaan di Jawa (Mataram). Dia menyatakan dirinya sebagai sultan, setara dengan Sultan Agung di Mataram. Ki Mas Hindi bergelar Sultan Abdurrahma, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Cinde Walang (1659-1706). Keraton Kuto Gawang dibakar habis oleh VOC pada tahun 1659, akibat perlawanan Palembang atas kekurang ajaran hasil wakil VOC di Palembang, Sultan Abdurrahman memindahkan keratonnya ke Beringin Janggut (sekarang sebagai pusat perdangangan).Sultan Mahmud Baaruddin I yang bergelar Jayo Wikramo (1741-1757) adalah merupakan tokoh pembangunan Kesultanan Palembang, dimana pembangunan modern dilakukannya. Antara lain Mesjid Agung Palembang, Makam Lembang (Kawah Tengkurep), Keraton Kuto Batu (sekarang berdiri Musium Badarudin dan Kantor Dinas Pariwisata Kota Palembang). Selain itu dia juga membuat kanal-kanal di wilayah kesulatan, yang berfungsi ganda, yaitu baik sebagai alur pelayaran, pertanian juga untuk pertahanan. Badaruddin Jayo Wikramo memantapkan konsep kosmologi Batanghari Sembilan sebagai satu lebensraum dari kekuasaan Palembang. Batanghari Sembilan adalah satu konsep Melayu - Jawa, yaitu adalah delapan penjuru angin yang terpencar dari pusatnya yang, merupakan penjuru kesembilan. Pusat atau penjuru kesembilan ini berada di keraton Palembang (lebih tegas lagi berada ditangan Sultan yang berkuasa).
Dari seluruh pelabuhan di wilayah orang-orang Melayu, Palembang telah membuktikan dn terus secara seksama menjadi pelabuhan yang paling aman dan peraturan paling baik, seperti dinyatakan oleh orang-orang pribumi dan orang-orang Eropa. Begitu memasuki perairan sungai, perahu-perahu kecil, dengan kewaspadaan yang biasa siaga dengan tindakan-tindakan perampasan. Kemungkinan perahu perampok yang bersembunyi akan memangsa perahu-perahu dagang kecil yang memasuki sungai, jarang terjadi, karena ketatnya penjagaan oleh kekuatan Sultan dengan segala peralatannya.Selain kekayaan yang melimpah dari baiknya pelayanan pelabuhan dan perdagangan, membuat Palembang mempunyai kesempatan memperkuat pertananannya. Ini dibuktikannya oleh Sultan Muhammad Bahauddin mendirikan keraton Kuto Besak pada tahun 1780. Di dalam melawan penjajahan Belanda dan Inggris, Sultan Mahmud Baruddin II berhasil mengatasi politik diplomasi dan peperangan kedua bangsa tersebut. Sebelum jatuhnya Palembang dalam peperangan besar di tahun 1821, Sultan Mahmud Badaruddin II secara beruntun pada tahun 1819 telah dua kali mengahajar pasukan pasukan Belanda keluar dari perairan Palembang. Keperkasaan Sultan Mahmud Badaruddin II ini dinilai oleh Pemerintah Republik Indonesia adalah wajar untuk dianugrahi sebagai Pahlawan Nasional.
Masa Belanda
Palembang sebagai Ibukota Kesultanan Palembang Darussalam pada saat dibawah pemerintah kolonial Belanda dirombak secara total dari sisi penggolongan kotanya. Pada awalnya wilayah pemukiman penduduk kota Palembang, dizaman Kesultanan lebih dari sekedar pemukiman yang terorganisir. Pemukiman pada waktu itu adalah suatu lembaga persekutuan dimana patronage dan paternalis terbentuk akibat struktur masyarakat tradisional dan feodalistis. Keseluruhan sistem ini berada dalam satu lingkungan dan lokasi. Sistem ini dikenal dengan nama gugu(k). Kosakata gugu berasal dari jawa - Kawi yang berarti : barang katanya, diturut, diindahkan.Setiap guguk mempunyai sifat sektoral ataupun aspiratip. Sekedar untuk pengertian meskipun tidak sama, bentuk guguk ini dapat dilihat dengan sistem gilda pada abad pertengahan di Eropa. Contoh nama wilayah pemukiman yang dikenal sebagai Sayangan, adalah wilayah dimana paramiji dan alingan(struktur bawah dari golongan penduduk kesultanan) yang memproduksi hasil-hasil dari bahan tembaga. Sayangan artinya pengerajin tembaga (Jawa Kawi). Produksi ini dilakukan atas perintah dari bangsawan yang menjadi pimpinan (guguk) yang menjadi pelindung terhadap kedua golongan baik miji maupun alingan (orang yang di-alingi/dilindungi). Hasil produksi ini merupakan pula income bagi sultan dan kesultanan.Contoh lain dalam adalah wilayah pemukiman mengindikasikan wilayah guguk, yaitu : kepandean adalah rajin atau pandai besi, pelampitan adalah perajin lampit, demikian juga dengan kuningan adalah perajin pembuat bahan-bahan dari kuningan.Pemukiman ini dapat pula bersifat aspiratif, yaitu satu guguk yang mempunyai satu profesi atau kedudukan yang sama, seperti guguk Pengulon, pemukiman para pendahulu dan alim ulama disekitar Mesjid Agung.
Demikian pula dengan kedemangan, wilayah dimana tokoh demang tinggal, ataupun kebumen yaitu tempat tempat dimana Mangkubumi menetap. Disamping ada wilayah-wilayah dimana kelompok tertentu bermukim, seperti Kebangkan adalah pemukiman orang-orang dari Bangka, Kebalen adalah pemukiman orang-orang dari Bali.Setelah Palembang dibawah adminstrasi kolonial, maka oleh Regering Commisaris J.I Van Sevenhoven sistem perwilayahan guguk harus dipecah belah. Pemecahan ini bukan saja memecah belah kekuatan kesultanan, juga sekaligus memcah masyarakat yang tadinya tunduk kepada sistem monarki, menjadi tuduk pada administrasi kolonial. Guguk dijadikan beberapa kampung. Sebagai kepala diangkat menjadi Kepala Kampung, dan di Palembang dibagi menjadi dua wilayah, yaitu Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Untuk mengepalai wilayah tersebut diangkat menjadi Demang. Demang adalah pamongraja pribumi yang tunduk kepada controleur. Kota Palembang pada waktu itu terdiri dari 52 kampung, yaitu 36 kampung berada di seberang ilir dan 16 kampung di seberang Ulu. Kampung-kampung ini diberi nomor yaitu dari nomor 1 sampai 36 untuk seberang ilir, sedangkan seberang ulu dari 1 sampai 16 ulu.Pemberian nomor-nomor kampung ini penuh semangat pada awal pelaksanaannya, tetapi kemudian pembagian tidak berkembang malah menyusut. Pada tahun 1939 kampung tersebut menjadi 43 buah, dimana 29 kampung berada diseberang ilir dan 14 kampung berada di seberang ulu.
Dapat diperkirakan penciutan adminstratif kampung ini karena yang diperlukan bukannlah wilayahnya, tetapi cacah jiwanya yang ada kaitan dengan pajak kepalanya. Sehingga untuk itu digabungkanlah beberapa kampung yang cacah jiwanya minim, dan cukup dikepalai oleh seorang Kepala Kampung.Oleh karen Kepala Kampung hanya mengurus penduduk pribumi, maka untuk golongan orang Timur Asing, mereka mempunyai Kepala dan wijk tersendiri. Untuk golongan Cina, kepalanya diangkat dengan kedudukan seperti kepangkatan militer, yaitu Letnan, Kapten dan Mayor. Demikian pula dengan golongan Arab dan Keling (India/Pakistan) dengan kepalanya seorang Kapten. Untuk kedudukan kepala Bangsa Timur Asing, biasanya dipilih berdasarkan atas pernyataan jumlah pajak yang akan mereka pungut dan diserahkan bagi pemerintah disertai pula jaminan dana begi kedudukannya.Pemerintah Kota Palembang pada 1 April 1906 menjadi satu Stadgemeente. Satu pemerintahan kota yang otonom, dimana dewan kota yang mengatur pemerintahan. Penduduk menyebut pemerintah kota ini adalah Haminte. Ketua Dewan Kota adalah Burgemeester (Walikota), dia dipilih oleh anggota Dewan Kota. Anggota Dewan Kota dipilih oleh penduduk kota.Sebenernya pemerintah kota bukanlah dibentuk untuk tujuan utama memenuhi kepentingan pribumi, akan tetapi lebih kepada kepentingan para pengusaha Barat yang sedang menikmati liberalisasi. Karena dampak liberalisasi menjadikan kota sebagai pusat atau konsentrasi ekonomi, baik sebagai pelabuhan ekspor, industri, jasa-jasa perdagangan dan menjadi markas para pengusaha.
Di Era Zaman Jepang
Dizaman penduduk Jepang (1942-1945), secara struktural tidak ada perubahan kedudukan kepala kampung. Hanya gelarnya saja yang berubah, yaitu menjadi Ku - Co dan mereka dibawah koordinasi Gun - Co. Tugasnya dititik beratkan pada pembangunan ekonomi peperangan Jepang. Untuk merapatkan barisan dikalangan penduduk, diperkenalkan suatu sistem lingkungan Jepang, Tonari - Gumi, yaitu Rukun Tetangga yang meliputi setiap 10 rumah di suatu kampung. Tonari - gumi dipimpin oleh seorang Ku - Mi - Co (Ketua RT).
`Kegiatan Pembangunan yang Menonjol`
Masa Kerajaan Sriwijaya
Pusat pemerintahan dan pemukiman terletak di bagin barat kota Palembang. Bentuk pembangunan yang dilakukan berupa :
- Tata ruang dan saluran air serta pengurukan dan penimbunan daerah rawa (di Kelurahan Karang Anyar, kelurahan Bukit Lama dan Kecamatan Seberang Ulu I), baik bentuk istana, pemukiman warga maupun tempat ibadah.
- Bangunan tempat ibadaha berupa Vihara dan kelengkapannya.
- Pembangunan pelabuhan, serta sarana Transportasi.
- Pembangunan Istana serta rumah-rumah tempat tinggal penduduk, baik diatas daratan, maupun di atas sungai berupa rakit dan rumha bertiang di atas rawa.
- Pembangunan industri antara lain industri manik-manik di Ilir Barat.
- Pembangunan Taman Srisetra dibagian barat kota (Prasasti Karang Tuo).
Masa Kesultanan Palembang
Pusat pemerintahan pada awal kebangkitan, di bagian timur kota palembang (di sekitar PT. PUSRI dan Kelurahan I Ilir). Kemudian setelah hampir satu abad pindah ke bagian tengah di Kelurahan 19 Ilir, bentuk pembangunan yang dilakukan berupa :
- Keraton/Istana Kuto Gawang (PT Pusri I Ilir), Kuto Lamo dan Kuto Besak (Kelurahan 19 Ilir).
- Benteng pertahanan (pemasangan lantai di Sungai Musi untuk menghalangi kapal musuh).
- Mesjid (di I Ilir, Beringin Janggut dan Mesjid Agung 19 Ilir).
- Pelabuhan dan tempat penambatan angkutan sungai.
- Makam raja-raja Palembang.
- Penataan tata ruang kota (seperti Kepandean, Sayangan, Kebumen, Depaten).
- Pembangunan oleh masyarakat (klenteng, rumah limas, industri rumah tangga tenunan, ukiran, dll)
Masa Penjajahan Belanda
Berdasarkan catatan pelaksanaan pembangunan kota yang berencana baru di mulai pada awal terbentuknya pemerintahan kota di tahun 1900-an, seperti dibawah ini :
- 30 September 1918 Pemerintah Kota menetapkan tentang pendirian dan pembongkaran bangunan, yaitu Verordening op het bouwen en sloopen in de Gemeente Palembang.
- 1935 diterbitkan Bouwverordening der Gemeente Palembang berupa Standsplan (Rencana Tehnik Ruang Kota), yang kemudian dengan diterbitkannya peta rencana, peta situasi atau peta penggunaan tanah (detail plan).
1906 - 1935
Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota Palembang antara 1906-1935 adalah sebagai berikut :
- Pembelian lapangan-lapangan untuk menimbun bahan bangunan.
- Pembuatan Jembatan Sungai Ogan.
- Perbaikan Jalan Seberang Ulu dari Ogan ke Plaju melalui 10 Ulu (Jl. KH. Azhari).
- Pembuatan medan lalu lintas dekat 10 Ulu dan Tengkuruk.
- Menyediakan lapangan-lapangan untuk lanjutan jalan kereta api Sum-Sel dari Kertapati ke Seberang.
- Menyediakan Lapangan pelabuhan di Seberang Ulu.
- Pendalaman alur sungai Musi.
- Perbaikan jalan dengan pembuatan jalan - jalan tembus dan pelebaran jalan antara Pelabuhan Tengkuruk - talang Jawa; Jl. Gevangenis (Jl. Lembaga Pemasyarakatan) - Boom Baru.
- Perbaikan tempat-tempat berlabuh untuk kapal-kapal sungai di 19 Ilir ( Pelabuhan/ponton).
- Penyediaan tempat transit yang mendesak dari Kertapati (titik ujung jalan kereta api Sum-Sel) yang dapat dicapai oleh kapal-kapal laut, yang mengambil batubara dari tambang bukit asam.
- Realisasi stands plan (Master Plan Kota) Kota Palembang. Ini adalah penetapan lokasi-lokasi :
- Industrial estate di daerah Sungai Gerong dan Plaju.
- Real Estate di Talang Semut.
- Sistem Ring and Radial bangunan jalan kota (yang saat itu baru sampai di Talang Grunik sebagai lingkar II) Jl. Kapten Arivai dan Jl. Veteran sekarang).
1935 - 1950
Jepang
- Perubahan bayas kota dengan memasukkan pelabuhan udara Talang Betutu ke dalam Administrasi Kotapraja.
- Pembangunan jalan By Pass dengan nama jalan Miaji (Jl. Jend. Sudirman).
- Pembangunan landasan pesawat udara :
- Pembangunan Pelabuhan Udara di Betung.
- Lapangan terbang di Talang Balai.
- Perbaikan pelabuhan laut di kota Palembang.
- Pembangunan lapangan Pesawat Udara di Sungai Buah.
- Perluasan lapangan udara talang Betutu (SMB II).
- Pembukaan jalan yang dimulai dari Simpang Mesjid (Simp. Jl. TP. Rustam Effendi) sampai ke simpang Charitas (Jl. Jend. Sudirman).
- Perbaikan dan pelebaran serta pelurusan Jl. Ke Talang Betutu (Jl. Kol. H. Burlian).
1950 - 1960
- Pembangunan Pasar :
- Lingkis (Cinde)
- Kertapati
- Lemabang
- Buah (Jl. Kol. Atmo/Tp. Rustam Effendi)
- Kuto.
- Perumahan Rakyat :
Sungai Buah dan Talang Betutu
- Air Bersih : Perluasan Penyaringan
Pemasangan pipa induk, dari penyaringan ke Jl. Jend. Sudirman
Pipa Suro, Tangga Buntung - Ladang Plaju - Rimab Seru
Pemasangan pipa 270 Km
Peningkatan produksi menjadi 23.000 m3/hari
- Pembangunan jalan lingkar I, Jl. Jend. Sudirman ke Simpang Cinde Welan
- Panjang jalan dalam kota 225 Km
- Penimbunan Musi Boulevart
- Perumahan Proyek Khusus Kebangkan (PCK)
- Pembebasan tanah peruntukan :
- Daerah Indusri PT. Pusri
- Universitas Sriwijaya
- Traffic Garden di Bukit Besar
- Pembangunan Balai Pertemuan di Jl. Sekanak.
- Pembangunan Stasion Kamboja.
- Pembuatan Kanal (terusan) Sungai Bendung.
- Pembangunan Penyebrangan Tangga Buntung - Kertapati.
- Pembukaan jalan Tangga Buntung ke Gandus.
1960 - 1970
- Pembangunan Jembatan Musi (Jembatan Ampera) April 1962 - Mei 1965
- Perbaikan Kampung
- Pembangunan sekolah dasar
- Pembangunan Perumahan Pegawai di Jalan Duku (Sumur Batu), Jl. Makrayu dan PCK
- Pemugaran Makam Raja-raja Palembang, Rumah Bari
- Peningkatan Kebersihan
- Terminal Bawah Jembatan Ampera
- Pertokoan Tengkuruk By Pass (Permai)
- Pasar 10 Ulu
- Pemekaran kampung 20 Ilir jadi 4, 26 ilir jadi 2, Sungai Batang dibagi dengan Sungai Selincah
1970 - 1980
Sasaran pembangunan : Jalan, Air Bersih, Listrik dan Kebersihan. Pembangunan Proyek Non Bujeter :
- Sumbangan Pertamina
Upgrading Jalan dalam Kota :
- 1969/1970 Jalan Utama Veteran, Harapan, Jl. Jend. Sudirman dan Jl. Jend. A.Yani (aspal beton).
- 1970-1971 Jalan-jalan dalam kota di lebarkan menjadi lebar rata-rata 8 m.
- 1973-1974 Upgrading jalan dalam kota.
- 1975-1976 Jalan-jalan di sekitar Pasar 16 ilir.
- Sumbangan dari PT. PUSRI
3 buah jembatan penyebrangan pejalan kaki di jalan Jend. Sudirman.
- Makmur Store
Menyumbang 1 buah jembatan penyebrangan jalan di Jl. Jend. Sudirman
- 1975 - 1978 perusahaan-perusahaan industri menyumbang 16 buah Shelter Bus.
- Pembangunan petak-petak pasar secara swadaya masyarakat, peremajaan dan modernisasi pasar atau pusat perbelanjaan.
- 1974 pembangunan gedung pusat pemerintahan Kotamadya. Penetapan hari jadi kota Palembang.
- Sasaran pembangunan diarahkan pada pembangunan sistem drainage (Pengeringan Kota)
Pembangunan Sistem Makro dan Sistem Mikro
Sistem Makro : meliputi Saluran induk dengan memanfaatkan sungai-sungai dan kolam-kolam (
Retention Basin).
Sistem Mikro : Meliputi saluran-saluran pengumpul dari daerah-daerah aliran ke saluran-saluran utama dan kesaluran induk.
Tahap Pelaksanaan :
- Program mendesak
- Pembersihan sungai Bendung dan Sungai rendang.
- Pembuatan/peningkatan saluran-saluran primer, siring-siring dan koker-koker.
- Program Jangka Pendek
- Normalisasi Sungai Sekanak, sungai bendung
- Peningkatan/pembuatan saluran primer dan saluran sekunder antara kedua sungai tersebut.
- Program Jangka Menengah
- Perancangan detail dan pelaksanaan di wilayah lingkaran II
- Normalisasi sungai-sungai, peningkatan /pembuatan saluran-saluran primer and sekunder.
- Jangka Panjang
- Lanjutan Studi dan perancangan sistem drainage secara keselurahan.
- Perbaikan dan normalisasi sungai rendang.
- Survey design sungai-sungai di daerah Seberang Ilir.
- Rehabilitasi anak sungai Bayas.
- Program Perbaikan Kampung (Kampong Improvment Program).
1979 - 1980
Untuk Kampung 9,10,11,13,14 ilir dan 1 ulu, dengan luas areal 40 ha untuk penduduk 30.210 jiwa.
1981 - 1982
Untuk Kampung 1,2 ulu, 13,14, 19, 22, 26, 26, 27 dan 28 ilir, dengan luas areal 80 ha untuk penduduk 41.654 jiwa.
1982 - 1983
Untuk Kampung 8,9,10,11,24,26,29,30dan 32 ilir, dengan luas areal 125 ha untuk penduduk 75.358 jiwa.
1983 - 1984
Diusulkan untuk Kampung 35 ilir, 3, 4, 5, 7 ulu, kertapati dan ogan baru dengan luas areal 75 ha untuk penduduk 99.126 jiwa.
Dalam realisasinya perbaikan kampung dilakukan pada kelurahan 29, 30, 32, 35 ilir, 3/4, 5,7 dan 8 ulu.
1984 - 1985
Untuk Kelurahan 3/4, 5,7,11,12 ulu, kertapati dan Ogan Baru.
1986 - 1987
Untuk kelurahan karang anyar, 36, 35, 32 ilir, 8, 11, 12, 13, 14 ulu, dan Tangga Takat.
1987 - 1988
Untuk kelurahan 2, 3, 5 ilir, dan 13, 14 ulu. Bentuk pembangunan KIP ini antara lain :
Jalan Lingkungan (aspal), Konstruksi Ris Beton, Konstruksi jembatan beton, kran air minum, MCK, Bak sampah, Gerobak Sampah, Buis Beton, SD Bertingkat, Puskesmas.
1981
Pembangunan kembali daerah yang terbakar dikampung 22, 23, 24 dan 26 ilir denagn areal site seluas 236.078 M2 dengan bangunan rumah flat 4 lantai, pelbagai tipe sebanyak 3.584 Unit lengkap dengan prasarana dan fasilitas lingkungan dan 214 kapling tanah siap bangun.
Pembebasan Tanah
Untuk rencana pemindahan terminal bawah jembatan Ampera Seberang Ilir ke wilayah seberang ulu baik untuk terminal Penumpang maupun unutk barang ± 8 Ha.
- Pembangunan taman-taman kota.
- Pembangunan jalan dengan sistem Ring dan Radial sesuai Peta 1930.
- Peningkatan Kebersihan dengan Pemantapan Program PALEMBANG KOTA BARI.
- Panjang Jalan dalam kota = 282.290 Km, terdiri dari :
Jalan Arteri = 61.220 Km
Jalan Arteri Sekunder = 58.752 Km
Jalan Kolektor dan lokal = 162.418 Km
Penambahan dan Pembukaan Ring dan Radial
- Jalan Radial soak Bato ke Jalan kapten Arivai.
- Jalan Lingkungan II dari Jl. Letkol Iskandar tembus ke Jalan segaran.
- Jalan Radial dari Lingkaran I tembus ke Jalan Veteran.
- Jalan Lingkaran Luar dari Gandus Ke Macan Lindungan, Jl. Demang lebar daun.
Jumlah jembatan yang ada di kota Palembang sebanyak 116 buah, terdiri dari :
- Jembatan beton 80 buah
- Jembatan Besi 7 buah
- Jembatan kayu 29 buah
Pembangunan permukiman Kenten Sako, Polygon dan rumah susun. Drainage
- Sejak 1980 - 1987 dibangun saluran sepanjang 333.671 Km, tersebar dari jalan Kapten A. Rivai ke arah Sungai Musi dan Daerah Seberang Ulu.
- 1987 - 1988 dibangun proyek pengeringan kota sepanjang 7.740 Km untuk lokasi di Kecamatan Ilir Barat I dan Ilir Timur I.
- 1988 Sumatera Selatan ditetapkan sebagai Daerah Tujuan Wisata ke - 17. Kota Palembang sebagai ibukota Propinsi menjadi Daerah Utama yang dijadikan sasaran pembangunan kepariwisataan. Obyek wisata yang ditonjolkan adalah wisata air dan budaya.
1990 - 1999
- Pembangunan RSUD dan Jalan Menuju Ke RSUD
- Jalan Keramasan - Musi II - Macan Lindungan
- Jembatan Musi II
- Jalan Mas krebet
- Jalan Kebun Bunga
- Jalan Tembus Jalan Sudirman ke Sako
- Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya
-
- Reklamasi Seberang Ulu I
- Jalan Menuju tanjung Api-api
- Jalan tembus Jalan Jend. A. Yani ke Dusun Rambuatan
- Jalan Lingkar Selatan
- Jalan Gandus ke Jalan raya Palembang - Betung
- Jalan Musi II ke Pembuangan sampah Kelurahan Keramasan
- Jalan Tembus Jalan Macan Lindungan ke Jalan haji Burlian
- Pembangunan Pemakaman Kebun Bunga (Silk Air)
- Pembangunan Retaining Wall depan Benteng Kuto Besak
Benteng Kuto Besak
Lokasi : Pinggiran Ilir Sungai Musi
Benteng ini dibangun selama 17 tahun (1780-1797 M). Sebagaimana umumnya bangunan benteng pada masa lalu, benteng yang kemudian dikenal dengan nama Benteng Kuto Besak (BKB) ini dibangun di atas pulau. Lahan tempatnya berdiri dikelilingi sungai. Yaitu, Sungai Kapuran (kini, alirannya merupakan bagian Jl. Merdeka, setelah ditimbun Pemerintahan Belanda sekitar tahun 1930-an) di bagian utara; Sungai Musi di bagian utara; Sungai Sekanak di bagian barat; dan Sungai Tengkuruk di bagian timur. Seperti halnya Sungai Kapuran, Sungai Tengkuruk juga ditimbun Belanda pada awal 1930-an dan dijadikan sebagai jalan. Lokasi jalan, yang kemudian dikenal sebagai Jl. Tengkuruk ini (kini menjadi landasan Jembatan Ampera dan sebagian lagi menjadi Jl. Jenderal Sudirman (sebelumnya, Jl. Talang Jawa), ini sempat berfungsi sebagai boulevard. Pada masa Palembang berbentuk Gementee (Kotapraja), Boulevard Tengkuruk ini dijadikan sebagai bagian dari rute pawai atau karnaval even tertentu Kerajaan Belanda, antara lain hari ulang tahun Ratu Wilhelmina. BKB, yang mulai difungsikan secara resmi pada Senin, 23 Sya?ban 1211 H (21 Februari 1797 M), ini dibangun oleh Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803 M). Pembangunannya dimu-lai pada Ahad, 15 Jumadil Awal 1193 H (1779 M). Pembangunan benteng ter-masuk keraton baru ini merupakan kelanjutan dari gagasan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau SMB I (1724-1758 M). Pendiri Masjid Agung (pada masa itu disebut sebagai Masjid Sulton) itu adalah kakek Sultan Muhammad Bahauddin. Bangunan ini menggunakan bahan batu dan semen (batu kapur serta bubuk tumbukan kulit kerang). Konon, sebagai bahan penguat tambahan, digunakan pula putih telur dan rebusan tulang serta kulit sapi dan kerbau. Benteng berbentuk persegi empat dengan ukuran panjang 290 meter, lebar 180 meter, dan tinggi 6,60 meter-7,20 meter. Di keempat sudutnya, terdapat empat bastion (buluarti) untuk menempatkan meriam. Meriamyang terdapat di keempat sudut benteng inilah yang dipakai untuk menghalau tentara dan menghancurkan armada Belanda pada Perang Palembang I tahun 1819 (Perang Menteng) dan Perang Palembang II tahun 1819. Sesuai dengan posisinya yang dikelilingi sungai, BKB memiliki pintu empat pintu. Yaitu, pintu utama yang menghadap Sungai Musi dan tiga pintu lain, yang masing-masing menghadap Sungai Tengkuruk, Sungai Kapuran, dan Sungai Sekanak.
Museum SMB II
Lokasi : Samping Jembatan Ampera di bagian Ilir
Keraton Kuto Kecik atau Keraton Kuto Lamo, dibangun seiring dengan pembangunan Masjid Agung Palembang. Saat kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam dipegang Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau SMB I (1724-1758 M), muncul ide untuk membangun masjid baru Sebelumnya, Keraton Palembang yang dibangun Ki Mas Hindi atau Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukmin Sayyidul Imam (1659-1706 M) terletak di kawasan Beringin Janggut (kini kompleks pertokoan Beringin Janggut). Masjid kesultanan pun terletak tidak jauh dari keraton, yaitu di kawasan yang kini dikenal sebagai Jl. Masjid Lama. SMB I membangun Masjid Sulton (kini Masjid Agung SMB II) pada 1 Jumadil Akhir 1511 H dan diresmikan pemakaiannya pada 28 Jumadil Awal 1161 H. Keraton Kuto Lamo (pada saat dibangun, tentu belum bernama demikian) ini dibangun persis di tepi Sungai Tengkuruk dan berjarak sekitar 100 meter dari Masjid Sulton. Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II (1803-1821 M), yang berganti-ganti kekuasaan dengan saudaranya, Sultan Husin Diauddin (1812-1813 M) serta Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (putra SMB II, 1819-1821 M) seiring masuknya pengaruh Belanda dan Inggris, benteng ini sempat ditempati pasukan Belanda. Menjelang Perang Palembang I tahun 1819, Pemerintah Hindia Belanda mendaratkan pasukannya sebanyak 200 orang di Palembang dan menempatkannya di Keraton Kuto Lamo. Saat perang hari pertama meletus, 11 Juni 1819, tentara Belanda itu ditembaki dan dihalau hingga lari ke kapal-kapal yang berada di Sungai Musi depan BKB. Pada perang ini, dari sekitar 500 tentara Belanda, yang tersisa dan selamat sekitar 350 orang. Begitu SMB II menyerah dan ditangkap pada Perang Palembang III tahun 1821 sehingga bersama keluarganya, dia dibuang ke Ternate, pasukan Belanda melakukan perampasan, perusakan, pembongkaran dan penghancuran terhadap aset kesultanan. Termasuk, bangunan yang ada di Benteng Kuto Lamo. Bahkan, pembongkaran yang dilakukan terhadap rumah limas para Pangeran serta bangunan lain hingga ke halaman Masjid Sulton itu, dilakukan pula terhadap fondasi Keraton hingga sedalam 3 meter. Pada tahun 1823, seiring penghapusan kekuasaan Sultan Najamuddin IV Prabu Anom (1821-1823 M), Belanda mulai melakukan pembangunan di bekas tapak Benteng Kuto Lamo secara bertahap. Rumah yang dibangun ini rencananya diperuntukkan bagi Komisaris Kerajaan Belanda di Palembang. Yaitu, Yohan Isaac van Sevenhoven, seorang advokat fiskal, yang menggantikan posisi Herman Warner Muntinghe. Muntinghe menjadi Komisaris di Palembang selama November 1821-Desember 1823. Pada tahun 1824, tahap pertama rumah dikenal sebagai Gedung Siput itu selesai dibangun. Setelah itu, bagian bangunan terus dilakukan penambahan.
Jembatan Ampera
Lokasi : Di atas Sungai Musi
Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang " Seberang Ulu dan Seberang Ilir " dengan jembatan, sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi. Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan kala itu, disebut Jembatan Musi dengan merujuk na-ma Sungai Musi yang dilintasinya pada sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956. Usulan ini sebetulnya tergo-long nekat sebab anggaran yang ada di Kota Palembang yang akan dijadikan modal awal? hanya sekitar Rp 30.000,00. Pada tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, Walikota Palembang, M. Ali Amin, dan Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu. Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00). Biaya ini akan dihitung dari pampasan (kompensasi) perang Jepang. Proyek Musi hingga akhir tahun 1970-an, warga Palembang menyebut Jembatan Ampera sebagai Proyek Musi?ini mulai dibangun April 1962 dan selesai pada Mei 1965. Jembatan dengan konstruksi baja yang diperkuat kawat baja itu, memiliki panjang 1.100 meter dengan lebar 22 meter. Keenam kakinya, dipancang sedalam 75 meter. Bagian atasnya, terdapat dua menara setinggi 75 meter dengan jarak bentang antar-menara 71,5 meter. Ketinggian bentang jembatan dari air 11,5 meter saat air surut dan 8 meter saat pasang naik itu dapat diangkat ketika akan dilalui kapal. Saat bentang diangkat, ketinggiannya dari air mencapai 63 meter. Kapal yang dapat melaluinya berukuran tinggi 9 meter-44,5 meter dan lebar 60 meter. Untuk mengangkat bentang jembatan seberat 994 ton ini, ditempatkanlah bandul yang masing-masing seberat 450 ton di kedua menara. Kecepatan angkatnya mencapai 10 meter per detik.
Masjid Lawang Kidul
Lokasi : Di tepian Sungai Musi
Masjid Lawang Kidul adalah salah satu masjid tua di Kota Palembang. Masjid ini terletak di tepian Sungai Musi di semacam tanjung yang terbentuk oleh pertemuannya dengan muara Sungai Lawangkidul, di kawasan Kelurahan Lawangkidul, Kecamatan Ilir Timur II. Rumah ibadah ini dibangun dan diwakafkan ulama Palembang kharismatik, Ki. Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs. H. Mahmud alias K. Anang pada tahun 1310 H (1890 M). Ulama ini lebih dikenal sebagai Kiai Merogan. Panggilan itu merujuk pada tempat tinggal dan aktivitasnya yang banyak di kawasan muara Sungai Ogan (salah satu anak Sungai Musi) di kawasan Seberang Ulu. Ayahnya adalah seorang ulama dan pedagang yang sukses. Kiai Merogan dilahirkan pada tahun 1811 M dan wafat pada 31 Oktober 1901. Ulama ini dimakamkan di areal Masjid Ki Merogan, salah satu masjid yang dibangun selama syiar Islamnya. Selama berdakwah sebelumnya, dia menetap di Mekkah, Saudi Arabia, tetapi mendapat bisikan untuk kembali ke kampung halaman bersama murid-muridnya, Kiai Merogan menggunakan perahu hingga ke daerah pelosok di Sumatera Selatan. Karena itu pula, selain Masjid Lawang Kidul dan Masjid Kiai Merogan di Palembang serta tiga pemondokan jemaah haji di Saudi Arabia, Kiai Merogan masih memiliki peninggalan berupa masjid di Dusun Pedu Pemulutan OKI, dan masjid di Dusun Ulak Kerbau Lama Pegagan Ilir (OKI). Sayang, kebakaran hebat pernah menghanguskan Kampung Karangberahi pada antara tahun 1964-1965. Kebakaran ini juga, diduga menghanguskan peninggalan berupa karya tulis Kiai Merogan, yang makamnya dikeramatkan hingga kini dan dipercaya membawa berkah bagi para peziarah yang memanjatkan doa di makam itu. Sebagai salah satu warisannya, Masjid Lawang Kidul hingga kini masih menampakkan kekukuhan dan kemegahan perkembangan Islam di kota ini. Hingga sekarang, masjid yang bangunan induknya memiliki luas lantai lebih kurang 20 X 20 meter itu, sebagian besar masih asli. Namun, terdapat bangunan tambahan sehingga luasnya saat ini menjadi 40 X 41 meter. Pemugaran dilaksanakan pada 1983-1987 lalu. Meskipun sebagian besar materialnya asli, ada beberapa bagian yang terpaksa diganti. Bagian yang diganti itu, terutama bagian atapnya yang semula genting belah bambu. Karena genting jenis itu tidak ada lagi, diganti dengan genting kodok. Konon, material bangunan itu terdiri atas campuran kapur, telur, dan pasir. Sedangkan bahan kayunya tiang, pintu, atap, dan bagian penunjang lainnya? terbuat dari kayu unglen. Interior mesjid, juga masih menampakkan keaslian. Empat saka guru memilik ketinggian delapan meter dengan 12 pilar pendamping setinggi lebih kurang enam meter. Kesemua tiang bersudut delapan. Empat alang (penyangga) atap sepanjang 20 meter juga terbuat dari unglen tanpa sambungan.
Kampung Kapitan
Lokasi : Kawasan 7 Ulu
NAMA Kapitan identik dengan sebuah perkampungan seluas lebih kurang 20 ha di kawasan Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang. Nama ini menjadi semacam penanda bagi keberadaan komunitas marga Tionghoa yang berdiam di kampung itu. Pembatas kampung, mulai dari tepi Sungai Musi di utara hingga ke tepian Jl K.H.A. Azhary di bagian selatannya. Bagian barat berbatasan dengan Sungai Kelenteng ?kini sudah ?mati??dan timur dengan Sungai Kedemangan. Jalan masuk ke Kampung Kapitan, demikian masyarakat Palembang menyebutnya, sepanjang lebih kurang 50 meter. Saat memasuki kawasan utama kampung ini, orang melewati semacam gerbang yang sesungguhnya merupakan penghubung antara Rumah Kapitan dan Rumah Abu, yang merupakan ?simbol? kampung ini. Sebutan Rumah Abu ini, setelah berakhirnya masa Kapitan Cina terakhir, Kapitan Tjoa Ham Hin. Dia menggantikan kedudukan ayahnya, Mayor Tjoa Tjie Kuan. Rumah Kapitan berukuran asli 22 X 25 meter. Keturunan Kapitan, yang menjadi ahli waris rumah itu, membuat bangunan tambahan di bagian belakang sehingga ukuran panjangnya menjadi 50 meter. Di ruang utama, terdapat meja sembahyang, yang ditempatkan beberapa pedupaan (tempat hio), dan patung para Toa Pe Kong. Salah satunya, Toa Pe Kong Sie, yang merupakan leluhur keluarga Tjoa. Leluhur Kapitan Tjoa, menurut semacam buku harian milik keluarga ini, adalah Sie Te, yang datang ke Palembang pada masa peralihan Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam, yaitu antara abad XVI-XVIII.
Masjid Kiai Merogan
Lokasi : Kawasan Tepian Sungai Musi
Masjid ini dibangun lebih dahulu daripada Masjid Lang Kidul. Pada masa lalu, daerah tempat berdirinya masjid dengan atap bertumpang dua dan puncak mustaka -?sama dengan Masjid Lawang Kidul?ini bernama Kampung Karang Berahi. Apakah memang karakter lokasi masjid pada zaman itu ataukah memang kekhasan Kiai Merogan, masjid ini terletak di muara Sungai Ogan ke Sungai Musi. Jika diamati, posisinya yang demikian, juga ketinggian tanah yang lebih dibanding lahan sekitarnya itu sama persis dengan Masjid Lawang Kidul. Letaknya sekitar 13 meter dari Sungai Musi dan 75 meter sebelah selatan Sungai Ogan. Penamaannya diambil dari nama julukan bagi ulama besar Palembang yang bernama lengkap Kiai Haji Masagus Abdul Hamid bin Mahmud. Ukuran asli masjid ini ?sebelum dilakukan renovasi dan perluasan?adalah 18,8 m X 19,4 m. Sama seperti Masjid Lawang Kidul dan Masjid Sungai Lumpur, bangunannya disangga empat saka guru berbentuk persegi delapan berukuran 0,3 X 0,27 m. Tingginya mencapai 5 meter. Saka guru dikelilingi dua belas tiang penunjang setinggi 4,2 meter dan besar 0,25 m x 0,25 m. Bagian-bagian masjid sebagian besar masih asli. Antara lain, saka guru dan 12 tiang penunjangnya, rangka bangunan atap, langit-langit, dan kuda-kuda. Mimbar khas masjid ini juga masih menampakkan keaslian, baik bahan maupun hiasannya. Di samping itu, beduk yang digunakan hingga sekarang ?berukuran panjang 2,5 m dan berdiameter 0,8 meter. Meskipun terletak di tanah yang lebih tinggi dibandingkan lahan sekitarnya, menurut keterangan masyarakat dan keluarga sang ulama, lahan masjid ini awalnya adalah lebak. Kemudian, saat masjid didirkan, dilakukan penimbunan hingga tanahnya mengeras. Sedangkan makam Kiai Merogan (wafat tahun 1882 M), terletak di sebelah kanan masjid. Makam dengan ukuran 1,75 meter dan lebar 0,82 meter ini, sampai sekarang masih sering dikunjungi peziarah.
Wisata Sungai Musi Kota Palembang
No | Nama Kapal | Paket | Tarif/Orang |
1 | KM. Puti Kembang Dadar | BKB-Ki Marogan- Musi 2- Sungai Lais-Bagus Kuning | Rp. 70.000,- |
2 | KM. Segentar Alam | BKB-Ki Marogan-Musi 2- Pulau Kemarau-Lawang Kidul | Rp. 50.000,- |
3 | Bus Air |
Belido | BKB - Kampung Kapiten - Ki Marogan - Lawang Kidul - Pulau Kemarau - Bagus Kuning | Rp. 30.000,- |
Perahu Naga | BKB - Kampung Kapiten - Ki Marogan - Lawang Kidul - Pulau Kemarau - Bagus Kuning | Rp. 30.000,- |
Sapta Pesona | BKB - Kampung Kapiten - Ki Marogan - Lawang Kidul - Pulau Kemarau - Bagus Kuning | Rp. 30.000,- |
Baung 1 | BKB - Kampung Kapiten - Ki Marogan -10 Ulu - Pulau Kemarau | Rp. 20.000,- |
Baung 2 | BKB - Kampung Kapiten - Ki Marogan -10 Ulu - Pulau Kemarau | Rp. 20.000,- |
Baung 3 | BKB - Kampung Kapiten - Ki Marogan -10 Ulu - Pulau Kemarau | Rp. 20.000,- |
Baung 4 | BKB - Kampung Kapiten - Ki Marogan -10 Ulu - Pulau Kemarau | Rp. 20.000,- |
4 | Ketek | BKB - Kampung Kapiten - Ki Marogan -10 Ulu - Pulau Kemarau | Rp. 20.000,- |
5 | Speed Boat | BKB - Jaka Baring - Musi 2 - Sungai Lais | Rp. 30.000,- |
Ketentuan Angkutan Wisata :
* Memiliki Life Jacket sesuai jumlah penumpang
* Sarana dilengkapi lampu navigasi dan penerangan (Lampu Lampion)
* Asuransi penumpang / Awak
* Memiliki dokumen Keselamatan Kapal
* Memiliki Izin Operasional Angkutan Wisata
|