Senin, 28 Februari 2011

Sejarah Dan Budaya Kota Pekanbaru

Sejarah dan Budaya Pekanbaru



Sejarah dan Budaya Asli Pekanbaru, Bagian 1
Sejarah dan Budaya Asli Pekanbaru - Kota Pekanbaru, siapa yang tak kenal dengan Pekanbaru saat ini? Pekanbaru merupakan ibukota Provinsi Riau yang oleh masyarakat Indonesia dikenal dengan hasil buminya yang melimpah dan daerah yang kental akan tradisi nilai-nilai kemelayuannya. Keberadaan Kota Pekanbaru yang ramai dan maju inipun menyimpan sejarah dan cerita tersendiri bagi masyarakat Riau. Ada dua versi mengenai asal-mula kota ini yaitu versi sejarah dan versi cerita rakyat.

Sejarah dan Budaya Asli Pekanbaru, Bagian 1Menurut versi sejarah, pada masa silam kota ini hanya berupa dusun kecil yang dikenal dengan sebutan Dusun Senapelan, yang dikepalai oleh seorang Batin (kepala dusun). Dalam perkembangannya, Dusun Senapelan berpindah ke tempat pemukiman baru yang kemudian disebut Dusun Payung Sekaki, yang terletak di tepi Muara Sungai Siak. Perkembangan Dusun Senapelan ini erat kaitannya dengan perkembangan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Pada masa itu, raja Siak Sri Indrapura yang keempat, Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, bergelar Tengku Alam (1766-1780 M.), menetap di Senapelan, yang kemudian membangun istananya di Kampung Bukit berdekatan dengan Dusun Senapelan (di sekitar Mesjid Raya Pekanbaru sekarang). Tidak berapa lama menetap di sana, Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah kemudian membangun sebuah pekan (pasar) di Senapelan, tetapi pekan itu tidak berkembang. Usaha yang telah dirintisnya tersebut kemudian dilanjutkan oleh putranya, Raja Muda Muhammad Ali di tempat baru yaitu di sekitar pelabuhan sekarang.

Selanjutnya, pada hari Selasa tanggal 21 Rajab 1204 H atau tanggal 23 Juni 1784 M., berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar dan Kampar), negeri Senapelan diganti namanya menjadi Pekan Baharu. Sejak saat itu, setiap tanggal 23 Juni ditetapkan sebagai hari jadi Kota Pekanbaru. Mulai saat itu pula, sebutan Senapelan sudah ditinggalkan dan mulai populer dengan sebutan Pekan Baharu. Sejalan dengan perkembangannya, kini Pekan Baharu lebih populer disebut dengan sebutan Kota Pekanbaru, dan oleh pemerintah daerah ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Riau.

Jauh sebelum Sultan Abdul Djalil Alamuddin Syah, putra Sultan Abdul Djalil Rahmat Syah memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Siak dari Sungai Mempura ke Senapelan pada 1763 Masehi, Petapahan dan Teratak Buluh juga menjadi pusat perdagangan yang cukup ramai pada saat itu. Kedua daerah ini tempat berkumpulnya para pedagang dari pedalaman Sumatera membawa hasil pertanian, hasil hutan, dan hasil tambang.




Oleh para pedagang, hasil pertanian, hasil hutan dan hasil tambang tersebut mereka bawa ke Singapura dan Malaka mengunakan perahu. Untuk jalur perdagangan Sungai Kampar, pusat perdagangannya terletak di Teratak Buluh. Sedangkan pusat perdagangan jalur Sungai Siak terletak di Petapahan. Perdagangan jalur Sungai Kampar kondisinya kurang aman, perahu pedagang sering hancur dan karam dihantam gelombang (Bono) di Kuala Kampar dan sering juga terjadi perampokan yang dilakukan oleh para lanun. Sedangkan Sungai Siak termasuk jalur perdagangan yang cukup aman.

Senapelan ketika itu hanya sebuah dusun kecil yang letaknya di kuala Sungai Pelan, hanya dihuni oleh dua atau tiga buah rumah saja (sekarang tepatnya di bawah Jembatan Siak I). Pada saat itu di sepanjang Sungai Siak, mulai dari Kuala Tapung sampai ke Kuala Sungai Siak (Sungai Apit) sudah ada kehidupan, hanya pada saat itu rumah-rumah penduduk jaraknya sangat berjauhan dari satu rumah ke rumah lainnya. Ketika itu belum ada tradisi dan kebudayaan, yang ada hanya bahasa, sebagai alat komunikasi bagi orang-orang yang tinggal di pinggir Sungai Siak.

Sejarah dan Budaya Asli Pekanbaru, Bagian 1Bahasa sehari-hari yang mereka pakai adalah bahasa Siak, bahasa Gasib, bahasa Perawang dan bahasa Tapung, karena orang-orang inilah yang lalu-lalang melintasi Sungai Siak. Pada saat itu pengaruh bahasa Minang, bahasa Pangkalan Kota Baru dan bahasa Kampar belum masuk ke dalam bahasa orang-orang yang hidup di sepanjang Sungai Siak.


Setelah Sultan Abdul Djalil Alamuddin Syah memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Siak dari Sungai Mempura ke Senapelan, pembesar-pembesar kerajaan serta orang-orang dalam kerajaan serta keluarganya ikut pindah ke Senapelan. Dan pada saat itulah tradisi serta budaya, bahasa sehari-hari terbawa pindah ke Senapelan.

Sejarah dan Budaya Asli Pekanbaru, Bagian 1Di Senapelan, sultan membangun istana (istana tersebut tidak terlihat lagi karena terbuat dari kayu). Sultan juga membangun masjid, masjid tersebut berukuran kecil, terbuat dari kayu, makanya masjid tersebut tidak bisa kita lihat lagi sekarang ini. Dari dasar masjid inilah menjadi cikal bakal Masjid Raya Pekanbaru di Pasar Bawah sekarang ini.








Sultan juga membangun jalan raya tembus dari Senapelan ke Teratak Buluh. Sultan Abdul Djalil Alamuddin Syah membangun pasar, yang aktivitasnya hanya sepekan sekali. Belum sempat Senapelan berkembang, Sultan Abdul Djalil Alamuddin Syah wafat pada 1765 masehi dan dimakamkan di samping Masjid Raya Pekanbaru, sekarang dengan gelar Marhum Bukit.


Sejarah dan Budaya Asli Pekanbaru, Bagian 1Pasar pekan dilanjutkan oleh putranya Raja Muda Muhammad Ali yang dibantu oleh ponakannya Said Ali (Anak Said Usman). Di masa Raja Muda Muhammad Ali inilah Senapelan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pasar yang dibangun yang pelaksanaannya hanya sekali sepekan melahirkan kata Pekanbaru. Pekan (berarti pasar sekali sepekan). Baru (baru dibangun saat itu). Saat itulah nama Senapelan lama kelamaan semakin menghilang, orang lebih banyak menyebut Pekanbaru.

Setelah Pekanbaru menjadi ramai maka muncullah para pendatang dari pelosok negeri mulai dari Minang Kabau, Pangkalan Kota baru, Kampar, Taluk Kuantan, Pasir Pengaraian, dan lain-lain. Awalnya mereka berdagang, lama kelamaan mereka menetap. Dengan menetapnya para pedagang tersebut di Pekanbaru lalu mereka melahirkan generasi (anak, cucu, cicit). Anak, cucu, dan cicit tersebut menjadi orang Pekanbaru. Masing-masing pedagang yang datang dan menetap di Pekanbaru membawa bahasa serta tradisi dari asal daerah mereka masing-masing. Lalu mereka wariskan kepada anak cucu dan cicit mereka. Dari situlah mulai kaburnya bahasa, tradisi asli Pekanbaru yang berasal dari Kerajaan Siak.

Kalau ingin tahu lebih jelas lagi mengenai sejarah, bahasa serta tradisi asli Pekanbaru, tanyakan kepada orang-orang Pekanbaru yang nenek moyang mereka berasal dari Siak, atau nenek moyang mereka orang-orang yang hidup di dalam lingkungan Kerajaan Siak. Mustahil para pedagang yang datang dan menetap di Pekanbaru menceritakan kepada anak cucu mereka tentang sejarah dan tradisi Pekanbaru.

Yang pasti mereka tanamkan ke dalam pikiran anak cucu mereka bagaimana cara berdagang yang baik dan sukses. Dalam hal ini peran Lembaga Adat Kota Pekanbaru sangat penting sekali, untuk meluruskan dan menjelaskan sejarah dan tradisi asli Pekanbaru. Maka dari itu pengurus Lembaga Adat Kota Pekanbaru mau tak mau harus tahu sejarah serta adat istiadat asli Pekanbaru. Karena Lembaga Adat tempat orang minta petunjuk, minta pendapat dan minta petuah.***

Anas Aismana, seniman, Budayawan Kota Pekanbaru

Minggu, 20 Februari 2011

SEJARAH DAN INFRASTRUKTUR KOTA PALEMBANG

Sejarah Kota Palembang (1/10)
Kota Palembang merupakan kota tertua di Indonesia berumur setidaknya 1382 tahun jika berdasarkan prasasti Sriwijaya yang dikenal sebagai prasasti Kedudukan Bukit. Menurut Prasasti yang berangka tahun 16 Juni 682. Pada saat itu oleh penguasa Sriwijaya didirikan Wanua di daerah yang sekarang dikenal sebagai kota Palembang. Menurut topografinya, kota ini dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut bersumber baik dari sungai maupun rawa, juga air hujan. Bahkan saat ini kota Palembang masih terdapat 52,24 % tanah yang yang tergenang oleh air (data Statistik 1990). Berkemungkinan karena kondisi inilah maka nenek moyang orang-orang kota ini menamakan kota ini sebagai Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai kata tunjuk suatu tempat atau keadaan; sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah, lembah akar yang membengkak karena lama terendam air (menurut kamus melayu), sedangkan menurut bahasa melayu-Palembang, lembang atau lembeng adalah genangan air. Jadi Palembang adalah suatu tempat yang digenangi oleh air.
Kondisi alam ini bagi nenek moyang orang-orang Palembang menjadi modal mereka untuk memanfaatkannya. Air menjadi sarana transportasi yang sangat vital, ekonomis, efisien dan punya daya jangkau dan punya kecepatan yang tinggi. Selain kondisi alam, juga letak strategis kota ini yang berada dalam satu jaringan yang mampu mengendalikan lalu lintas antara tiga kesatuan wilayah:
  • Tanah tinggi Sumatera bagian Barat, yaitu : Pegunungan Bukit Barisan.
  • Daerah kaki bukit atau piedmont dan pertemuan anak-anak sungai sewaktu memasuki dataran rendah.
  • Daerah pesisir timur laut.
Ketiga kesatuan wilayah ini merupakan faktor setempat yang sangat mementukan dalam pembentukan pola kebudayaan yang bersifat peradaban. Faktor setempat yang berupa jaringan dan komoditi dengan frekuensi tinggi sudah terbentuk lebih dulu dan berhasil mendorong manusia setempat menciptakan pertumbuhan pola kebudayaan tinggi di Sumatera Selatan. Faktor setempat inilah yang membuat Palembang menjadi ibukota Sriwijaya, yang merupakan kekuatan politik dan ekonomi di zaman klasik pada wilayah Asia Tenggara. Kejayaan Sriwijaya diambil oleh Kesultanan Palembang Darusallam pada zaman madya sebagai kesultanan yang disegani dikawasan Nusantara
Sriwijaya, seperti juga bentuk-bentuk pemerintahan di Asia Tenggara lainnya pada kurun waktu itu, bentuknya dikenal sebagai Port-polity. Pengertian Port-polity secara sederhana bermula sebagai sebuah pusat redistribusi, yang secara perlahan-lahan mengambil alih sejumlah bentuk peningkatan kemajuan yang terkandung di dalam spektrum luas. Pusat pertumbuhan dari sebuah Polity adalah entreport yang menghasilkan tambahan bagi kekayaan dan kontak-kontak kebudayaan. Hasil-hasil ini diperoleh oleh para pemimpin setempat. (dalam istilah Sriwijaya sebutannya adalah datu), dengan hasil ini merupakan basis untuk penggunaan kekuatan ekonomi dan penguasaan politik di Asia Tenggara.
Ada tulisan menarik dari kronik Cina Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau Ju-Kua pada abad ke 14, menceritakan tentang Sriwijaya sebagai berikut :Negara ini terletak di Laut selatan, menguasai lalu lintas perdagangan asing di Selat. Pada zaman dahulu pelabuhannya menggunakan rantai besi untuk menahan bajak-bajak laut yang bermaksud jahat. Jika ada perahu-perahu asing datang, rantai itu diturunkan. Setelah keadaan aman kembali, rantai itu disingkirkan. Perahu-perahu yang lewat tanpa singgah dipelabuhan dikepung oleh perahu-perahu milik kerajaan dan diserang. Semua awak-awak perahu tersebut berani mati. Itulah sebabnya maka negara itu menjadi pusat pelayaran.
Tentunya banyak lagi cerita, legenda bahkan mitos tentang Sriwijaya. Pelaut-pelaut Cina asing seperti Cina, Arab dan Parsi, mencatat seluruh perisitiwa kapanpun kisah-kisah yang mereka lihat dan dengan. Jika pelaut-pelaut Arab dan Parsi, menggambarkan keadaan sungai Musi, dimana Palembang terletak, adalah bagaikan kota di Tiggris. Kota Palembang digambarkan mereka adalah kota yang sangat besar, dimana jika dimasuki kota tersebut, kokok ayam jantan tidak berhenti bersahut-sahutan (dalam arti kokok sang ayam mengikuti terbitnya matahari). Kisah-kisah perjalanan mereka penuh dengan keajaiban 1001 malam. Pelaut-pelaut Cina mencatat lebih realistis tentang kota Palembang, dimana mereka melihat bagaimana kehiduapan penduduk kota yang hidup diatas rakit-rakit tanpa dipungut pajak. Sedangkan bagi pemimpin hidup berumah ditanah kering diatas rumah yang bertiang. Mereka mengeja nama Palembang sesuai dengan lidah dan aksara mereka. Palembang disebut atau diucapkan mereka sebagai Po-lin-fong atau Ku-kang (berarti pelabuhan lama).Setelah mengalami kejayaan diabad-abad ke-7 dan 9, maka dikurun abad ke-12 Sriwijaya mengalami keruntuhan secara perlahan-lahan. Keruntuhan Sriwijaya ini, baik karena persaingan dengan kerajaan di Jawa, pertempuran dengan kerajaan Cola dari India dan terakhir kejatuhan ini tak terelakkan setelah bangkitnya bangkitnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam yang tadinya merupakan bagian-bagian kecil dari kerajaan Sriwijaya, berkembang menjadi kerajaan besar seperti yang ada di Aceh dan Semenanjung Malaysia.
Dari sisa Kerajaan Sriwijaya tersebut tinggalah Palembang sebagai satu kekuatan tersendiri yang dikenal sebagai kerajaan Palembang. Menurut catatan Cina raja Palembang yang bernama Ma-na-ha Pau-lin-pang mengirim dutanya menghadap kaisar Cina tahun 1374 dan 1375.Maharaja ini barangkali adalah raja Palembang terakhir, sebelum Palembang dihancurkan oleh Majapahit pada tahun 1377. Berkemungkinan Parameswara dengan para pengikutnya hijrah ke semenanjung, dimana ia singgah lebih dulu ke pulau Temasik dan mendirikan kerajaan Singapura. Pulau ini ditinggalkannya setelah dia berperang melawan orang-orang Siam. Dari Singapura dia hijrah ke Semenanjung dan mendirikan kerajaan Melaka. Setelah membina kerajaan ini dengan gaya dan cara Sriwijaya, maka Melaka menjadi kerajaan terbesar di nusantara setelah kebesaran Sriwijaya.Palembang sendiri setelah ditinggalkan Parameswara menjadi chaos. Majapahit tidak dapat menempatkan adipati di Palembang, karena ditolak oleh orang-orang Cina yang telah menguasai Palembang. Mereka menyebut Palembang sebagai Ku-Kang dan mereka terdiri dari kelompok-kelompok cina yang terusir dari Cina Selatan, yaitu dari wilayah Nan-hai, Chang-chou dan Changuan-chou.
Meskipun setiap kelompok ini mempunyai pemimpin sendiri, tetapi mereka sepakat menolak pimpinan dari majapahit dan mengangkat Liang Tau-ming sebagai pemimpin mereka.Pada masa ini Palembang dikenal sebagai wilayah yang menjadi sarang bajak laut dari orang-orang Cina tersebut. Tidak heran jika toko sejarah dan legendaris dari Cina, yaitu Laksamana Chen-ho terpaksa beberapa kali muncul di Palembang guna memberantas para bajak laut ini. Pada tahun 1407 setelah kembali dari pelayarannya dari barat, Chen-ho sendiri telah menangkap toko bajak laut dari Palembang yaitu Chen Tsui-i. Chen-ho membawa bajak laut ini kehadapan kaisar, kemudian dihukum pancung ditengah pasar ibukota. Namun beberapa toko bajak laut di lautan cina seperti Chin Lien, pada tahun 1577 telah bersembunyi di Palembang dan kemudian menjadi pedagang yang disegani di Palembang. Chiang Lien sebagai pengawas perdagangan untuk cina. sebetulnya kedudukan ini adalah suatu jabatan yang disahkan oleh kaisar dan mempunyai wewenang mengatur hukum, imbalan, penurunan ataupun kenaikan (promosi) bagi warga Cina di Palembang. Dapat dibayangkan bahwa kekuasaan orang-orang Cina di Palembang hampir 200 tahun.
Masa Kesultanan Palembang
Menurut Tomec Pires yang menulis sekitar tahun kejatuhan Melaka, menyatakan bahwa pupusnya pengaruh Majapahit dan Cina du Palembang adalah akibat kebangkitan Islam di wilayah Palembang sendiri. Situasi dan kondisi ini menempatkan Palembang menjadi wilayah perlindungan Kerajaan Islam Demak sekitar tahun 1546, yang melibatkan Aria Penangsang dari Jipang dan Pangeran Hadiwijaya dari Pajang, dimana kematian Aria Penangsang membuat para pengikutnya melarikan diri ke Palembang.Para pengikut Aria Jipang ini membuat ketakutan baru dengan mendirikan Kerajaan Palembang. Tokoh pendiri Kerajaan Palembang adalah Ki Gede Ing Suro. Keraton pertamanya di Kuto Gawang, pada saat ini situsnya tepat berada di komplesk PT. Pusri. Dimana makam Ki Gede Ing Suro berada di belakang Pusri.Dari bentuk keraton Jawa di tepi sungai Musi, para penguasanya beradaptasi dengan lingkungan melayu di sekitarnya. Terjadilah suatu akulturasi dan asimilasi kebudayaan jawa dan melayu, yang dikenal sebagai kebudayaan Palembang. Ki Mas Hindi adalah tokoh kerajaan Palembang yang memperjelas jati diri Palemban, memutus hubungan ideologi dan kultural ddengan pusat kerajaan di Jawa (Mataram). Dia menyatakan dirinya sebagai sultan, setara dengan Sultan Agung di Mataram. Ki Mas Hindi bergelar Sultan Abdurrahma, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Cinde Walang (1659-1706). Keraton Kuto Gawang dibakar habis oleh VOC pada tahun 1659, akibat perlawanan Palembang atas kekurang ajaran hasil wakil VOC di Palembang, Sultan Abdurrahman memindahkan keratonnya ke Beringin Janggut (sekarang sebagai pusat perdangangan).Sultan Mahmud Baaruddin I yang bergelar Jayo Wikramo (1741-1757) adalah merupakan tokoh pembangunan Kesultanan Palembang, dimana pembangunan modern dilakukannya. Antara lain Mesjid Agung Palembang, Makam Lembang (Kawah Tengkurep), Keraton Kuto Batu (sekarang berdiri Musium Badarudin dan Kantor Dinas Pariwisata Kota Palembang). Selain itu dia juga membuat kanal-kanal di wilayah kesulatan, yang berfungsi ganda, yaitu baik sebagai alur pelayaran, pertanian juga untuk pertahanan. Badaruddin Jayo Wikramo memantapkan konsep kosmologi Batanghari Sembilan sebagai satu lebensraum dari kekuasaan Palembang. Batanghari Sembilan adalah satu konsep Melayu - Jawa, yaitu adalah delapan penjuru angin yang terpencar dari pusatnya yang, merupakan penjuru kesembilan. Pusat atau penjuru kesembilan ini berada di keraton Palembang (lebih tegas lagi berada ditangan Sultan yang berkuasa).
Dari seluruh pelabuhan di wilayah orang-orang Melayu, Palembang telah membuktikan dn terus secara seksama menjadi pelabuhan yang paling aman dan peraturan paling baik, seperti dinyatakan oleh orang-orang pribumi dan orang-orang Eropa. Begitu memasuki perairan sungai, perahu-perahu kecil, dengan kewaspadaan yang biasa siaga dengan tindakan-tindakan perampasan. Kemungkinan perahu perampok yang bersembunyi akan memangsa perahu-perahu dagang kecil yang memasuki sungai, jarang terjadi, karena ketatnya penjagaan oleh kekuatan Sultan dengan segala peralatannya.Selain kekayaan yang melimpah dari baiknya pelayanan pelabuhan dan perdagangan, membuat Palembang mempunyai kesempatan memperkuat pertananannya. Ini dibuktikannya oleh Sultan Muhammad Bahauddin mendirikan keraton Kuto Besak pada tahun 1780. Di dalam melawan penjajahan Belanda dan Inggris, Sultan Mahmud Baruddin II berhasil mengatasi politik diplomasi dan peperangan kedua bangsa tersebut. Sebelum jatuhnya Palembang dalam peperangan besar di tahun 1821, Sultan Mahmud Badaruddin II secara beruntun pada tahun 1819 telah dua kali mengahajar pasukan pasukan Belanda keluar dari perairan Palembang. Keperkasaan Sultan Mahmud Badaruddin II ini dinilai oleh Pemerintah Republik Indonesia adalah wajar untuk dianugrahi sebagai Pahlawan Nasional.
Masa Belanda
Palembang sebagai Ibukota Kesultanan Palembang Darussalam pada saat dibawah pemerintah kolonial Belanda dirombak secara total dari sisi penggolongan kotanya. Pada awalnya wilayah pemukiman penduduk kota Palembang, dizaman Kesultanan lebih dari sekedar pemukiman yang terorganisir. Pemukiman pada waktu itu adalah suatu lembaga persekutuan dimana patronage dan paternalis terbentuk akibat struktur masyarakat tradisional dan feodalistis. Keseluruhan sistem ini berada dalam satu lingkungan dan lokasi. Sistem ini dikenal dengan nama gugu(k). Kosakata gugu berasal dari jawa - Kawi yang berarti : barang katanya, diturut, diindahkan.Setiap guguk mempunyai sifat sektoral ataupun aspiratip. Sekedar untuk pengertian meskipun tidak sama, bentuk guguk ini dapat dilihat dengan sistem gilda pada abad pertengahan di Eropa. Contoh nama wilayah pemukiman yang dikenal sebagai Sayangan, adalah wilayah dimana paramiji dan alingan(struktur bawah dari golongan penduduk kesultanan) yang memproduksi hasil-hasil dari bahan tembaga. Sayangan artinya pengerajin tembaga (Jawa Kawi). Produksi ini dilakukan atas perintah dari bangsawan yang menjadi pimpinan (guguk) yang menjadi pelindung terhadap kedua golongan baik miji maupun alingan (orang yang di-alingi/dilindungi). Hasil produksi ini merupakan pula income bagi sultan dan kesultanan.Contoh lain dalam adalah wilayah pemukiman mengindikasikan wilayah guguk, yaitu : kepandean adalah rajin atau pandai besi, pelampitan adalah perajin lampit, demikian juga dengan kuningan adalah perajin pembuat bahan-bahan dari kuningan.Pemukiman ini dapat pula bersifat aspiratif, yaitu satu guguk yang mempunyai satu profesi atau kedudukan yang sama, seperti guguk Pengulon, pemukiman para pendahulu dan alim ulama disekitar Mesjid Agung.
Demikian pula dengan kedemangan, wilayah dimana tokoh demang tinggal, ataupun kebumen yaitu tempat tempat dimana Mangkubumi menetap. Disamping ada wilayah-wilayah dimana kelompok tertentu bermukim, seperti Kebangkan adalah pemukiman orang-orang dari Bangka, Kebalen adalah pemukiman orang-orang dari Bali.Setelah Palembang dibawah adminstrasi kolonial, maka oleh Regering Commisaris J.I Van Sevenhoven sistem perwilayahan guguk harus dipecah belah. Pemecahan ini bukan saja memecah belah kekuatan kesultanan, juga sekaligus memcah masyarakat yang tadinya tunduk kepada sistem monarki, menjadi tuduk pada administrasi kolonial. Guguk dijadikan beberapa kampung. Sebagai kepala diangkat menjadi Kepala Kampung, dan di Palembang dibagi menjadi dua wilayah, yaitu Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Untuk mengepalai wilayah tersebut diangkat menjadi Demang. Demang adalah pamongraja pribumi yang tunduk kepada controleur. Kota Palembang pada waktu itu terdiri dari 52 kampung, yaitu 36 kampung berada di seberang ilir dan 16 kampung di seberang Ulu. Kampung-kampung ini diberi nomor yaitu dari nomor 1 sampai 36 untuk seberang ilir, sedangkan seberang ulu dari 1 sampai 16 ulu.Pemberian nomor-nomor kampung ini penuh semangat pada awal pelaksanaannya, tetapi kemudian pembagian tidak berkembang malah menyusut. Pada tahun 1939 kampung tersebut menjadi 43 buah, dimana 29 kampung berada diseberang ilir dan 14 kampung berada di seberang ulu.
Dapat diperkirakan penciutan adminstratif kampung ini karena yang diperlukan bukannlah wilayahnya, tetapi cacah jiwanya yang ada kaitan dengan pajak kepalanya. Sehingga untuk itu digabungkanlah beberapa kampung yang cacah jiwanya minim, dan cukup dikepalai oleh seorang Kepala Kampung.Oleh karen Kepala Kampung hanya mengurus penduduk pribumi, maka untuk golongan orang Timur Asing, mereka mempunyai Kepala dan wijk tersendiri. Untuk golongan Cina, kepalanya diangkat dengan kedudukan seperti kepangkatan militer, yaitu Letnan, Kapten dan Mayor. Demikian pula dengan golongan Arab dan Keling (India/Pakistan) dengan kepalanya seorang Kapten. Untuk kedudukan kepala Bangsa Timur Asing, biasanya dipilih berdasarkan atas pernyataan jumlah pajak yang akan mereka pungut dan diserahkan bagi pemerintah disertai pula jaminan dana begi kedudukannya.Pemerintah Kota Palembang pada 1 April 1906 menjadi satu Stadgemeente. Satu pemerintahan kota yang otonom, dimana dewan kota yang mengatur pemerintahan. Penduduk menyebut pemerintah kota ini adalah Haminte. Ketua Dewan Kota adalah Burgemeester (Walikota), dia dipilih oleh anggota Dewan Kota. Anggota Dewan Kota dipilih oleh penduduk kota.Sebenernya pemerintah kota bukanlah dibentuk untuk tujuan utama memenuhi kepentingan pribumi, akan tetapi lebih kepada kepentingan para pengusaha Barat yang sedang menikmati liberalisasi. Karena dampak liberalisasi menjadikan kota sebagai pusat atau konsentrasi ekonomi, baik sebagai pelabuhan ekspor, industri, jasa-jasa perdagangan dan menjadi markas para pengusaha.
Di Era Zaman Jepang
Dizaman penduduk Jepang (1942-1945), secara struktural tidak ada perubahan kedudukan kepala kampung. Hanya gelarnya saja yang berubah, yaitu menjadi Ku - Co dan mereka dibawah koordinasi Gun - Co. Tugasnya dititik beratkan pada pembangunan ekonomi peperangan Jepang. Untuk merapatkan barisan dikalangan penduduk, diperkenalkan suatu sistem lingkungan Jepang, Tonari - Gumi, yaitu Rukun Tetangga yang meliputi setiap 10 rumah di suatu kampung. Tonari - gumi dipimpin oleh seorang Ku - Mi - Co (Ketua RT).
`Kegiatan Pembangunan yang Menonjol`
Masa Kerajaan Sriwijaya
Pusat pemerintahan dan pemukiman terletak di bagin barat kota Palembang. Bentuk pembangunan yang dilakukan berupa :
  1. Tata ruang dan saluran air serta pengurukan dan penimbunan daerah rawa (di Kelurahan Karang Anyar, kelurahan Bukit Lama dan Kecamatan Seberang Ulu I), baik bentuk istana, pemukiman warga maupun tempat ibadah.
  2. Bangunan tempat ibadaha berupa Vihara dan kelengkapannya.
  3. Pembangunan pelabuhan, serta sarana Transportasi.
  4. Pembangunan Istana serta rumah-rumah tempat tinggal penduduk, baik diatas daratan, maupun di atas sungai berupa rakit dan rumha bertiang di atas rawa.
  5. Pembangunan industri antara lain industri manik-manik di Ilir Barat.
  6. Pembangunan Taman Srisetra dibagian barat kota (Prasasti Karang Tuo).
Masa Kesultanan Palembang
Pusat pemerintahan pada awal kebangkitan, di bagian timur kota palembang (di sekitar PT. PUSRI dan Kelurahan I Ilir). Kemudian setelah hampir satu abad pindah ke bagian tengah di Kelurahan 19 Ilir, bentuk pembangunan yang dilakukan berupa :
  1. Keraton/Istana Kuto Gawang (PT Pusri I Ilir), Kuto Lamo dan Kuto Besak (Kelurahan 19 Ilir).
  2. Benteng pertahanan (pemasangan lantai di Sungai Musi untuk menghalangi kapal musuh).
  3. Mesjid (di I Ilir, Beringin Janggut dan Mesjid Agung 19 Ilir).
  4. Pelabuhan dan tempat penambatan angkutan sungai.
  5. Makam raja-raja Palembang.
  6. Penataan tata ruang kota (seperti Kepandean, Sayangan, Kebumen, Depaten).
  7. Pembangunan oleh masyarakat (klenteng, rumah limas, industri rumah tangga tenunan, ukiran, dll)
Masa Penjajahan Belanda
Berdasarkan catatan pelaksanaan pembangunan kota yang berencana baru di mulai pada awal terbentuknya pemerintahan kota di tahun 1900-an, seperti dibawah ini :
  1. 30 September 1918 Pemerintah Kota menetapkan tentang pendirian dan pembongkaran bangunan, yaitu Verordening op het bouwen en sloopen in de Gemeente Palembang.
  2. 1935 diterbitkan Bouwverordening der Gemeente Palembang berupa Standsplan (Rencana Tehnik Ruang Kota), yang kemudian dengan diterbitkannya peta rencana, peta situasi atau peta penggunaan tanah (detail plan).
1906 - 1935
Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota Palembang antara 1906-1935 adalah sebagai berikut :
  • Pembelian lapangan-lapangan untuk menimbun bahan bangunan.
  • Pembuatan Jembatan Sungai Ogan.
  • Perbaikan Jalan Seberang Ulu dari Ogan ke Plaju melalui 10 Ulu (Jl. KH. Azhari).
  • Pembuatan medan lalu lintas dekat 10 Ulu dan Tengkuruk.
  • Menyediakan lapangan-lapangan untuk lanjutan jalan kereta api Sum-Sel dari Kertapati ke Seberang.
  • Menyediakan Lapangan pelabuhan di Seberang Ulu.
  • Pendalaman alur sungai Musi.
  • Perbaikan jalan dengan pembuatan jalan - jalan tembus dan pelebaran jalan antara Pelabuhan Tengkuruk - talang Jawa; Jl. Gevangenis (Jl. Lembaga Pemasyarakatan) - Boom Baru.
  • Perbaikan tempat-tempat berlabuh untuk kapal-kapal sungai di 19 Ilir ( Pelabuhan/ponton).
  • Penyediaan tempat transit yang mendesak dari Kertapati (titik ujung jalan kereta api Sum-Sel) yang dapat dicapai oleh kapal-kapal laut, yang mengambil batubara dari tambang bukit asam.
  1. Realisasi stands plan (Master Plan Kota) Kota Palembang. Ini adalah penetapan lokasi-lokasi :
  1. Industrial estate di daerah Sungai Gerong dan Plaju.
  2. Real Estate di Talang Semut.
  3. Sistem Ring and Radial bangunan jalan kota (yang saat itu baru sampai di Talang Grunik sebagai lingkar II) Jl. Kapten Arivai dan Jl. Veteran sekarang).
1935 - 1950

Jepang
  1. Perubahan bayas kota dengan memasukkan pelabuhan udara Talang Betutu ke dalam Administrasi Kotapraja.
  2. Pembangunan jalan By Pass dengan nama jalan Miaji (Jl. Jend. Sudirman).
  3. Pembangunan landasan pesawat udara :
  • Pembangunan Pelabuhan Udara di Betung.
  • Lapangan terbang di Talang Balai.
  • Perbaikan pelabuhan laut di kota Palembang.
  • Pembangunan lapangan Pesawat Udara di Sungai Buah.
  • Perluasan lapangan udara talang Betutu (SMB II).
  • Pembukaan jalan yang dimulai dari Simpang Mesjid (Simp. Jl. TP. Rustam Effendi) sampai ke simpang Charitas (Jl. Jend. Sudirman).
  • Perbaikan dan pelebaran serta pelurusan Jl. Ke Talang Betutu (Jl. Kol. H. Burlian).
1950 - 1960
  1. Pembangunan Pasar :
  • Lingkis (Cinde)
  • Kertapati
  • Lemabang
  • Buah (Jl. Kol. Atmo/Tp. Rustam Effendi)
  • Kuto.
  1. Perumahan Rakyat :
    Sungai Buah dan Talang Betutu
  2. Air Bersih : Perluasan Penyaringan
    Pemasangan pipa induk, dari penyaringan ke Jl. Jend. Sudirman
    Pipa Suro, Tangga Buntung - Ladang Plaju - Rimab Seru
    Pemasangan pipa 270 Km
    Peningkatan produksi menjadi 23.000 m3/hari
  3. Pembangunan jalan lingkar I, Jl. Jend. Sudirman ke Simpang Cinde Welan
  4. Panjang jalan dalam kota 225 Km
  5. Penimbunan Musi Boulevart
  6. Perumahan Proyek Khusus Kebangkan (PCK)
  7. Pembebasan tanah peruntukan :
  • Daerah Indusri PT. Pusri
  • Universitas Sriwijaya
  • Traffic Garden di Bukit Besar
  1. Pembangunan Balai Pertemuan di Jl. Sekanak.
  2. Pembangunan Stasion Kamboja.
  3. Pembuatan Kanal (terusan) Sungai Bendung.
  4. Pembangunan Penyebrangan Tangga Buntung - Kertapati.
  5. Pembukaan jalan Tangga Buntung ke Gandus.
1960 - 1970
  1. Pembangunan Jembatan Musi (Jembatan Ampera) April 1962 - Mei 1965
  2. Perbaikan Kampung
  3. Pembangunan sekolah dasar
  4. Pembangunan Perumahan Pegawai di Jalan Duku (Sumur Batu), Jl. Makrayu dan PCK
  5. Pemugaran Makam Raja-raja Palembang, Rumah Bari
  6. Peningkatan Kebersihan
  7. Terminal Bawah Jembatan Ampera
  8. Pertokoan Tengkuruk By Pass (Permai)
  9. Pasar 10 Ulu
  10. Pemekaran kampung 20 Ilir jadi 4, 26 ilir jadi 2, Sungai Batang dibagi dengan Sungai Selincah
1970 - 1980
Sasaran pembangunan : Jalan, Air Bersih, Listrik dan Kebersihan. Pembangunan Proyek Non Bujeter :
  1. Sumbangan Pertamina
    Upgrading Jalan dalam Kota :
  • 1969/1970 Jalan Utama Veteran, Harapan, Jl. Jend. Sudirman dan Jl. Jend. A.Yani (aspal beton).
  • 1970-1971 Jalan-jalan dalam kota di lebarkan menjadi lebar rata-rata 8 m.
  • 1973-1974 Upgrading jalan dalam kota.
  • 1975-1976 Jalan-jalan di sekitar Pasar 16 ilir.
  1. Sumbangan dari PT. PUSRI
    3 buah jembatan penyebrangan pejalan kaki di jalan Jend. Sudirman.
  2. Makmur Store
    Menyumbang 1 buah jembatan penyebrangan jalan di Jl. Jend. Sudirman
  3. 1975 - 1978 perusahaan-perusahaan industri menyumbang 16 buah Shelter Bus.
  4. Pembangunan petak-petak pasar secara swadaya masyarakat, peremajaan dan modernisasi pasar atau pusat perbelanjaan.
  5. 1974 pembangunan gedung pusat pemerintahan Kotamadya. Penetapan hari jadi kota Palembang.
  6. Sasaran pembangunan diarahkan pada pembangunan sistem drainage (Pengeringan Kota)
Pembangunan Sistem Makro dan Sistem Mikro
Sistem Makro : meliputi Saluran induk dengan memanfaatkan sungai-sungai dan kolam-kolam (Retention Basin).
Sistem Mikro : Meliputi saluran-saluran pengumpul dari daerah-daerah aliran ke saluran-saluran utama dan kesaluran induk.
Tahap Pelaksanaan :
  1. Program mendesak
  • Pembersihan sungai Bendung dan Sungai rendang.
  • Pembuatan/peningkatan saluran-saluran primer, siring-siring dan koker-koker.
  1. Program Jangka Pendek
  • Normalisasi Sungai Sekanak, sungai bendung
  • Peningkatan/pembuatan saluran primer dan saluran sekunder antara kedua sungai tersebut.
  1. Program Jangka Menengah
  • Perancangan detail dan pelaksanaan di wilayah lingkaran II
  • Normalisasi sungai-sungai, peningkatan /pembuatan saluran-saluran primer and sekunder.
  1. Jangka Panjang
  • Lanjutan Studi dan perancangan sistem drainage secara keselurahan.
  • Perbaikan dan normalisasi sungai rendang.
  • Survey design sungai-sungai di daerah Seberang Ilir.
  • Rehabilitasi anak sungai Bayas.
  • Program Perbaikan Kampung (Kampong Improvment Program).
1979 - 1980
Untuk Kampung 9,10,11,13,14 ilir dan 1 ulu, dengan luas areal 40 ha untuk penduduk 30.210 jiwa. 1981 - 1982
Untuk Kampung 1,2 ulu, 13,14, 19, 22, 26, 26, 27 dan 28 ilir, dengan luas areal 80 ha untuk penduduk 41.654 jiwa.
1982 - 1983
Untuk Kampung 8,9,10,11,24,26,29,30dan 32 ilir, dengan luas areal 125 ha untuk penduduk 75.358 jiwa.
1983 - 1984
Diusulkan untuk Kampung 35 ilir, 3, 4, 5, 7 ulu, kertapati dan ogan baru dengan luas areal 75 ha untuk penduduk 99.126 jiwa.
Dalam realisasinya perbaikan kampung dilakukan pada kelurahan 29, 30, 32, 35 ilir, 3/4, 5,7 dan 8 ulu.
1984 - 1985
Untuk Kelurahan 3/4, 5,7,11,12 ulu, kertapati dan Ogan Baru.
1986 - 1987
Untuk kelurahan karang anyar, 36, 35, 32 ilir, 8, 11, 12, 13, 14 ulu, dan Tangga Takat.
1987 - 1988
Untuk kelurahan 2, 3, 5 ilir, dan 13, 14 ulu. Bentuk pembangunan KIP ini antara lain :
Jalan Lingkungan (aspal), Konstruksi Ris Beton, Konstruksi jembatan beton, kran air minum, MCK, Bak sampah, Gerobak Sampah, Buis Beton, SD Bertingkat, Puskesmas.
1981
Pembangunan kembali daerah yang terbakar dikampung 22, 23, 24 dan 26 ilir denagn areal site seluas 236.078 M2 dengan bangunan rumah flat 4 lantai, pelbagai tipe sebanyak 3.584 Unit lengkap dengan prasarana dan fasilitas lingkungan dan 214 kapling tanah siap bangun.
Pembebasan Tanah
Untuk rencana pemindahan terminal bawah jembatan Ampera Seberang Ilir ke wilayah seberang ulu baik untuk terminal Penumpang maupun unutk barang ± 8 Ha.
  • Pembangunan taman-taman kota.
  • Pembangunan jalan dengan sistem Ring dan Radial sesuai Peta 1930.
  • Peningkatan Kebersihan dengan Pemantapan Program PALEMBANG KOTA BARI.
  • Panjang Jalan dalam kota = 282.290 Km, terdiri dari :
    Jalan Arteri = 61.220 Km
    Jalan Arteri Sekunder = 58.752 Km
    Jalan Kolektor dan lokal = 162.418 Km
Penambahan dan Pembukaan Ring dan Radial
  1. Jalan Radial soak Bato ke Jalan kapten Arivai.
  2. Jalan Lingkungan II dari Jl. Letkol Iskandar tembus ke Jalan segaran.
  3. Jalan Radial dari Lingkaran I tembus ke Jalan Veteran.
  4. Jalan Lingkaran Luar dari Gandus Ke Macan Lindungan, Jl. Demang lebar daun.
Jumlah jembatan yang ada di kota Palembang sebanyak 116 buah, terdiri dari :
  1. Jembatan beton 80 buah
  2. Jembatan Besi 7 buah
  3. Jembatan kayu 29 buah
Pembangunan permukiman Kenten Sako, Polygon dan rumah susun. Drainage
  • Sejak 1980 - 1987 dibangun saluran sepanjang 333.671 Km, tersebar dari jalan Kapten A. Rivai ke arah Sungai Musi dan Daerah Seberang Ulu.
  • 1987 - 1988 dibangun proyek pengeringan kota sepanjang 7.740 Km untuk lokasi di Kecamatan Ilir Barat I dan Ilir Timur I.
  • 1988 Sumatera Selatan ditetapkan sebagai Daerah Tujuan Wisata ke - 17. Kota Palembang sebagai ibukota Propinsi menjadi Daerah Utama yang dijadikan sasaran pembangunan kepariwisataan. Obyek wisata yang ditonjolkan adalah wisata air dan budaya.
1990 - 1999
  • Pembangunan RSUD dan Jalan Menuju Ke RSUD
  • Jalan Keramasan - Musi II - Macan Lindungan
  • Jembatan Musi II
  • Jalan Mas krebet
  • Jalan Kebun Bunga
  • Jalan Tembus Jalan Sudirman ke Sako
  • Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya
  •  
  • Reklamasi Seberang Ulu I
  • Jalan Menuju tanjung Api-api
  • Jalan tembus Jalan Jend. A. Yani ke Dusun Rambuatan
  • Jalan Lingkar Selatan
  • Jalan Gandus ke Jalan raya Palembang - Betung
  • Jalan Musi II ke Pembuangan sampah Kelurahan Keramasan
  • Jalan Tembus Jalan Macan Lindungan ke Jalan haji Burlian
  • Pembangunan Pemakaman Kebun Bunga (Silk Air)
  • Pembangunan Retaining Wall depan Benteng Kuto Besak
Benteng Kuto Besak
Lokasi : Pinggiran Ilir Sungai Musi
Benteng ini dibangun selama 17 tahun (1780-1797 M). Sebagaimana umumnya bangunan benteng pada masa lalu, benteng yang kemudian dikenal dengan nama Benteng Kuto Besak (BKB) ini dibangun di atas pulau. Lahan tempatnya berdiri dikelilingi sungai. Yaitu, Sungai Kapuran (kini, alirannya merupakan bagian Jl. Merdeka, setelah ditimbun Pemerintahan Belanda sekitar tahun 1930-an) di bagian utara; Sungai Musi di bagian utara; Sungai Sekanak di bagian barat; dan Sungai Tengkuruk di bagian timur. Seperti halnya Sungai Kapuran, Sungai Tengkuruk juga ditimbun Belanda pada awal 1930-an dan dijadikan sebagai jalan. Lokasi jalan, yang kemudian dikenal sebagai Jl. Tengkuruk ini (kini menjadi landasan Jembatan Ampera dan sebagian lagi menjadi Jl. Jenderal Sudirman (sebelumnya, Jl. Talang Jawa), ini sempat berfungsi sebagai boulevard. Pada masa Palembang berbentuk Gementee (Kotapraja), Boulevard Tengkuruk ini dijadikan sebagai bagian dari rute pawai atau karnaval even tertentu Kerajaan Belanda, antara lain hari ulang tahun Ratu Wilhelmina. BKB, yang mulai difungsikan secara resmi pada Senin, 23 Sya?ban 1211 H (21 Februari 1797 M), ini dibangun oleh Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803 M). Pembangunannya dimu-lai pada Ahad, 15 Jumadil Awal 1193 H (1779 M). Pembangunan benteng ter-masuk keraton baru ini merupakan kelanjutan dari gagasan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau SMB I (1724-1758 M). Pendiri Masjid Agung (pada masa itu disebut sebagai Masjid Sulton) itu adalah kakek Sultan Muhammad Bahauddin. Bangunan ini menggunakan bahan batu dan semen (batu kapur serta bubuk tumbukan kulit kerang). Konon, sebagai bahan penguat tambahan, digunakan pula putih telur dan rebusan tulang serta kulit sapi dan kerbau. Benteng berbentuk persegi empat dengan ukuran panjang 290 meter, lebar 180 meter, dan tinggi 6,60 meter-7,20 meter. Di keempat sudutnya, terdapat empat bastion (buluarti) untuk menempatkan meriam. Meriamyang terdapat di keempat sudut benteng inilah yang dipakai untuk menghalau tentara dan menghancurkan armada Belanda pada Perang Palembang I tahun 1819 (Perang Menteng) dan Perang Palembang II tahun 1819. Sesuai dengan posisinya yang dikelilingi sungai, BKB memiliki pintu empat pintu. Yaitu, pintu utama yang menghadap Sungai Musi dan tiga pintu lain, yang masing-masing menghadap Sungai Tengkuruk, Sungai Kapuran, dan Sungai Sekanak.

Museum SMB II
Lokasi : Samping Jembatan Ampera di bagian Ilir
Keraton Kuto Kecik atau Keraton Kuto Lamo, dibangun seiring dengan pembangunan Masjid Agung Palembang. Saat kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam dipegang Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau SMB I (1724-1758 M), muncul ide untuk membangun masjid baru Sebelumnya, Keraton Palembang yang dibangun Ki Mas Hindi atau Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukmin Sayyidul Imam (1659-1706 M) terletak di kawasan Beringin Janggut (kini kompleks pertokoan Beringin Janggut). Masjid kesultanan pun terletak tidak jauh dari keraton, yaitu di kawasan yang kini dikenal sebagai Jl. Masjid Lama. SMB I membangun Masjid Sulton (kini Masjid Agung SMB II) pada 1 Jumadil Akhir 1511 H dan diresmikan pemakaiannya pada 28 Jumadil Awal 1161 H. Keraton Kuto Lamo (pada saat dibangun, tentu belum bernama demikian) ini dibangun persis di tepi Sungai Tengkuruk dan berjarak sekitar 100 meter dari Masjid Sulton. Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II (1803-1821 M), yang berganti-ganti kekuasaan dengan saudaranya, Sultan Husin Diauddin (1812-1813 M) serta Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (putra SMB II, 1819-1821 M) seiring masuknya pengaruh Belanda dan Inggris, benteng ini sempat ditempati pasukan Belanda. Menjelang Perang Palembang I tahun 1819, Pemerintah Hindia Belanda mendaratkan pasukannya sebanyak 200 orang di Palembang dan menempatkannya di Keraton Kuto Lamo. Saat perang hari pertama meletus, 11 Juni 1819, tentara Belanda itu ditembaki dan dihalau hingga lari ke kapal-kapal yang berada di Sungai Musi depan BKB. Pada perang ini, dari sekitar 500 tentara Belanda, yang tersisa dan selamat sekitar 350 orang. Begitu SMB II menyerah dan ditangkap pada Perang Palembang III tahun 1821 sehingga bersama keluarganya, dia dibuang ke Ternate, pasukan Belanda melakukan perampasan, perusakan, pembongkaran dan penghancuran terhadap aset kesultanan. Termasuk, bangunan yang ada di Benteng Kuto Lamo. Bahkan, pembongkaran yang dilakukan terhadap rumah limas para Pangeran serta bangunan lain hingga ke halaman Masjid Sulton itu, dilakukan pula terhadap fondasi Keraton hingga sedalam 3 meter. Pada tahun 1823, seiring penghapusan kekuasaan Sultan Najamuddin IV Prabu Anom (1821-1823 M), Belanda mulai melakukan pembangunan di bekas tapak Benteng Kuto Lamo secara bertahap. Rumah yang dibangun ini rencananya diperuntukkan bagi Komisaris Kerajaan Belanda di Palembang. Yaitu, Yohan Isaac van Sevenhoven, seorang advokat fiskal, yang menggantikan posisi Herman Warner Muntinghe. Muntinghe menjadi Komisaris di Palembang selama November 1821-Desember 1823. Pada tahun 1824, tahap pertama rumah dikenal sebagai Gedung Siput itu selesai dibangun. Setelah itu, bagian bangunan terus dilakukan penambahan.

Jembatan Ampera
Lokasi : Di atas Sungai Musi
Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang " Seberang Ulu dan Seberang Ilir " dengan jembatan, sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi. Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan kala itu, disebut Jembatan Musi dengan merujuk na-ma Sungai Musi yang dilintasinya pada sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956. Usulan ini sebetulnya tergo-long nekat sebab anggaran yang ada di Kota Palembang yang akan dijadikan modal awal? hanya sekitar Rp 30.000,00. Pada tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, Walikota Palembang, M. Ali Amin, dan Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu. Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00). Biaya ini akan dihitung dari pampasan (kompensasi) perang Jepang. Proyek Musi hingga akhir tahun 1970-an, warga Palembang menyebut Jembatan Ampera sebagai Proyek Musi?ini mulai dibangun April 1962 dan selesai pada Mei 1965. Jembatan dengan konstruksi baja yang diperkuat kawat baja itu, memiliki panjang 1.100 meter dengan lebar 22 meter. Keenam kakinya, dipancang sedalam 75 meter. Bagian atasnya, terdapat dua menara setinggi 75 meter dengan jarak bentang antar-menara 71,5 meter. Ketinggian bentang jembatan dari air 11,5 meter saat air surut dan 8 meter saat pasang naik itu dapat diangkat ketika akan dilalui kapal. Saat bentang diangkat, ketinggiannya dari air mencapai 63 meter. Kapal yang dapat melaluinya berukuran tinggi 9 meter-44,5 meter dan lebar 60 meter. Untuk mengangkat bentang jembatan seberat 994 ton ini, ditempatkanlah bandul yang masing-masing seberat 450 ton di kedua menara. Kecepatan angkatnya mencapai 10 meter per detik.

Masjid Lawang Kidul
Lokasi : Di tepian Sungai Musi
Masjid Lawang Kidul adalah salah satu masjid tua di Kota Palembang. Masjid ini terletak di tepian Sungai Musi di semacam tanjung yang terbentuk oleh pertemuannya dengan muara Sungai Lawangkidul, di kawasan Kelurahan Lawangkidul, Kecamatan Ilir Timur II. Rumah ibadah ini dibangun dan diwakafkan ulama Palembang kharismatik, Ki. Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs. H. Mahmud alias K. Anang pada tahun 1310 H (1890 M). Ulama ini lebih dikenal sebagai Kiai Merogan. Panggilan itu merujuk pada tempat tinggal dan aktivitasnya yang banyak di kawasan muara Sungai Ogan (salah satu anak Sungai Musi) di kawasan Seberang Ulu. Ayahnya adalah seorang ulama dan pedagang yang sukses. Kiai Merogan dilahirkan pada tahun 1811 M dan wafat pada 31 Oktober 1901. Ulama ini dimakamkan di areal Masjid Ki Merogan, salah satu masjid yang dibangun selama syiar Islamnya. Selama berdakwah sebelumnya, dia menetap di Mekkah, Saudi Arabia, tetapi mendapat bisikan untuk kembali ke kampung halaman bersama murid-muridnya, Kiai Merogan menggunakan perahu hingga ke daerah pelosok di Sumatera Selatan. Karena itu pula, selain Masjid Lawang Kidul dan Masjid Kiai Merogan di Palembang serta tiga pemondokan jemaah haji di Saudi Arabia, Kiai Merogan masih memiliki peninggalan berupa masjid di Dusun Pedu Pemulutan OKI, dan masjid di Dusun Ulak Kerbau Lama Pegagan Ilir (OKI). Sayang, kebakaran hebat pernah menghanguskan Kampung Karangberahi pada antara tahun 1964-1965. Kebakaran ini juga, diduga menghanguskan peninggalan berupa karya tulis Kiai Merogan, yang makamnya dikeramatkan hingga kini dan dipercaya membawa berkah bagi para peziarah yang memanjatkan doa di makam itu. Sebagai salah satu warisannya, Masjid Lawang Kidul hingga kini masih menampakkan kekukuhan dan kemegahan perkembangan Islam di kota ini. Hingga sekarang, masjid yang bangunan induknya memiliki luas lantai lebih kurang 20 X 20 meter itu, sebagian besar masih asli. Namun, terdapat bangunan tambahan sehingga luasnya saat ini menjadi 40 X 41 meter. Pemugaran dilaksanakan pada 1983-1987 lalu. Meskipun sebagian besar materialnya asli, ada beberapa bagian yang terpaksa diganti. Bagian yang diganti itu, terutama bagian atapnya yang semula genting belah bambu. Karena genting jenis itu tidak ada lagi, diganti dengan genting kodok. Konon, material bangunan itu terdiri atas campuran kapur, telur, dan pasir. Sedangkan bahan kayunya tiang, pintu, atap, dan bagian penunjang lainnya? terbuat dari kayu unglen. Interior mesjid, juga masih menampakkan keaslian. Empat saka guru memilik ketinggian delapan meter dengan 12 pilar pendamping setinggi lebih kurang enam meter. Kesemua tiang bersudut delapan. Empat alang (penyangga) atap sepanjang 20 meter juga terbuat dari unglen tanpa sambungan.

Kampung Kapitan
Lokasi : Kawasan 7 Ulu
NAMA Kapitan identik dengan sebuah perkampungan seluas lebih kurang 20 ha di kawasan Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang. Nama ini menjadi semacam penanda bagi keberadaan komunitas marga Tionghoa yang berdiam di kampung itu. Pembatas kampung, mulai dari tepi Sungai Musi di utara hingga ke tepian Jl K.H.A. Azhary di bagian selatannya. Bagian barat berbatasan dengan Sungai Kelenteng ?kini sudah ?mati??dan timur dengan Sungai Kedemangan. Jalan masuk ke Kampung Kapitan, demikian masyarakat Palembang menyebutnya, sepanjang lebih kurang 50 meter. Saat memasuki kawasan utama kampung ini, orang melewati semacam gerbang yang sesungguhnya merupakan penghubung antara Rumah Kapitan dan Rumah Abu, yang merupakan ?simbol? kampung ini. Sebutan Rumah Abu ini, setelah berakhirnya masa Kapitan Cina terakhir, Kapitan Tjoa Ham Hin. Dia menggantikan kedudukan ayahnya, Mayor Tjoa Tjie Kuan. Rumah Kapitan berukuran asli 22 X 25 meter. Keturunan Kapitan, yang menjadi ahli waris rumah itu, membuat bangunan tambahan di bagian belakang sehingga ukuran panjangnya menjadi 50 meter. Di ruang utama, terdapat meja sembahyang, yang ditempatkan beberapa pedupaan (tempat hio), dan patung para Toa Pe Kong. Salah satunya, Toa Pe Kong Sie, yang merupakan leluhur keluarga Tjoa. Leluhur Kapitan Tjoa, menurut semacam buku harian milik keluarga ini, adalah Sie Te, yang datang ke Palembang pada masa peralihan Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam, yaitu antara abad XVI-XVIII.

Masjid Kiai Merogan
Lokasi : Kawasan Tepian Sungai Musi
Masjid ini dibangun lebih dahulu daripada Masjid Lang Kidul. Pada masa lalu, daerah tempat berdirinya masjid dengan atap bertumpang dua dan puncak mustaka -?sama dengan Masjid Lawang Kidul?ini bernama Kampung Karang Berahi. Apakah memang karakter lokasi masjid pada zaman itu ataukah memang kekhasan Kiai Merogan, masjid ini terletak di muara Sungai Ogan ke Sungai Musi. Jika diamati, posisinya yang demikian, juga ketinggian tanah yang lebih dibanding lahan sekitarnya itu sama persis dengan Masjid Lawang Kidul. Letaknya sekitar 13 meter dari Sungai Musi dan 75 meter sebelah selatan Sungai Ogan. Penamaannya diambil dari nama julukan bagi ulama besar Palembang yang bernama lengkap Kiai Haji Masagus Abdul Hamid bin Mahmud. Ukuran asli masjid ini ?sebelum dilakukan renovasi dan perluasan?adalah 18,8 m X 19,4 m. Sama seperti Masjid Lawang Kidul dan Masjid Sungai Lumpur, bangunannya disangga empat saka guru berbentuk persegi delapan berukuran 0,3 X 0,27 m. Tingginya mencapai 5 meter. Saka guru dikelilingi dua belas tiang penunjang setinggi 4,2 meter dan besar 0,25 m x 0,25 m. Bagian-bagian masjid sebagian besar masih asli. Antara lain, saka guru dan 12 tiang penunjangnya, rangka bangunan atap, langit-langit, dan kuda-kuda. Mimbar khas masjid ini juga masih menampakkan keaslian, baik bahan maupun hiasannya. Di samping itu, beduk yang digunakan hingga sekarang ?berukuran panjang 2,5 m dan berdiameter 0,8 meter. Meskipun terletak di tanah yang lebih tinggi dibandingkan lahan sekitarnya, menurut keterangan masyarakat dan keluarga sang ulama, lahan masjid ini awalnya adalah lebak. Kemudian, saat masjid didirkan, dilakukan penimbunan hingga tanahnya mengeras. Sedangkan makam Kiai Merogan (wafat tahun 1882 M), terletak di sebelah kanan masjid. Makam dengan ukuran 1,75 meter dan lebar 0,82 meter ini, sampai sekarang masih sering dikunjungi peziarah.


Wisata Sungai Musi Kota Palembang

No
Nama Kapal
Paket
Tarif/Orang
1
KM. Puti Kembang Dadar
BKB-Ki Marogan- Musi 2- Sungai Lais-Bagus Kuning
Rp. 70.000,-
2
KM. Segentar Alam
BKB-Ki Marogan-Musi 2- Pulau Kemarau-Lawang Kidul
Rp. 50.000,-
3
Bus Air
Belido
BKB - Kampung Kapiten - Ki Marogan - Lawang Kidul - Pulau Kemarau - Bagus Kuning
Rp. 30.000,-
Perahu Naga
BKB - Kampung Kapiten - Ki Marogan - Lawang Kidul - Pulau Kemarau - Bagus Kuning
Rp. 30.000,-
Sapta Pesona
BKB - Kampung Kapiten - Ki Marogan - Lawang Kidul - Pulau Kemarau - Bagus Kuning
Rp. 30.000,-
Baung 1
BKB - Kampung Kapiten - Ki Marogan -10 Ulu - Pulau Kemarau
Rp. 20.000,-
Baung 2
BKB - Kampung Kapiten - Ki Marogan -10 Ulu - Pulau Kemarau
Rp. 20.000,-
Baung 3
BKB - Kampung Kapiten - Ki Marogan -10 Ulu - Pulau Kemarau
Rp. 20.000,-
Baung 4
BKB - Kampung Kapiten - Ki Marogan -10 Ulu - Pulau Kemarau
Rp. 20.000,-
4
Ketek
BKB - Kampung Kapiten - Ki Marogan -10 Ulu - Pulau Kemarau
Rp. 20.000,-
5
Speed Boat
BKB - Jaka Baring - Musi 2 - Sungai Lais
Rp. 30.000,-

Ketentuan Angkutan Wisata :
* Memiliki Life Jacket sesuai jumlah penumpang
* Sarana dilengkapi lampu navigasi dan penerangan (Lampu Lampion)
* Asuransi penumpang / Awak
* Memiliki dokumen Keselamatan Kapal
* Memiliki Izin Operasional Angkutan Wisata




Jumat, 18 Februari 2011

ORIGINS BATAK TOBA

Batak
Bataks is a community, one of community or ethnic in North Sumatera.While the term is used to include the Toba, Karo, Pak Pak, Simalungun, Angkola and Mandailing groups. Language and culture almost similar. Around the Lake is main of Batak's ethic, especially Batak Toba.

Language
Indonesia has hundreds of languages throughout the archipelago of 13,000 islands. Indonesian is the national language. People who live around and in Samosir Island has their own language which named Batak language. Most of the people are speaking Indonesian too, as it is an official language used at school and government
Here are some basic words and phrases in Toba Batak and Indonesian, handy for traveling around Lake Toba.

English
Batak
Indonesian
1
Sada
Satu
2
Dua
Dua
3
Tolu
Tiga
4
Opat
Empat
5
Lima
Lima
6
Onom
Enam
7
Pitu
Tujuh
8
Walu
Delapan
9
Sia
Sembilan
10
Sappulu
Sepuluh
11
Sappulu Sada
Sebelas
20
Dua Pullu
Dua Puluh
100
Saratus
Seratus
1.000
Saribu
Seribu
10.000
Sappulu Ribu
Sepuluh Ribu
100.000
Saratus Ribu
Seratus Ribu
1.000.000
Sajuta / Sada Juta
Sejuta / Satu Juta




English
Batak
Indonesian
Cheers
Lissoi

Hello
Horas
Salam
I Am
Ahu / Au
Saya
You Are
Ho / Hamuna
Kamu
We Are
Hami
Kami
Yes
Olo
Iya
No
Daong
Tidak
Why ?
Boasa ?
Kenapa ?
Eat
Mangan
Makan
Just A Moment
Satokkin
Sebentar
Happy
Sonang / Las Roha
Senang / Bahagia
Delicius
Tabo
Lezat / Enak
Sleep
Modom
Tidur
Thank You
Mauliate
Terima Kasih



Sopo (Batak Traditional House)
Amazing and symbolic significance for construction and design. Pillar foundation, paint with three colors black, red and white and the ornament.



Tor Tor & Gondang Tor Tor (Traditional Batak Dance)



play with Gondang (Traditional Batak Music). You can see Tor Tor and Gondang in Batak ceremony.
In Samosir Sigale Gale (Batak dancing with puppet Sigale Gale) play with Gondang. Sigale Gale are Batak Puppet Boy make from wooden and to make it move like dancing Tor Tor follow the music Gondang using string and move depend to puppeter. Tortor Sigale Gale do in Batak ceremony when parent or somebody was dead and not have child (generation). Old time ago the ceremony called as Papurpur Sapata. And now Tor Tor Sigale Gale are dance and music ceremony for say welcome to tourist.
Musical instruments: Flute, Tulila (type of small trumpet), Hasapi (a two-stringed kecapi, small 'cello'), Saga-Saga (a kind of harmonica), Tanggetang (a small ukulele), Ogung (gong) which includes Oloan, Doal and Panggora, one set of percussion instruments (Gordang, Tataganing and Odap), Hombung (pieces of metal tuned differently stored in a chest), Sarune (a reed instrument), etc.

Solu (Small Boat)



Solu is most important transportation for people around of Lake Toba. Solu or canoe is used for fisher. Now Solu is not used for transportation but motor boat.

Ulos & Weaving Ulos

or we can say muffler of Batak, it's weaving, used in ceremony of Batak or using daily. Ulos have three color's black, red and white. Ulos have motif and color is different it have means for using the color's and the motif.
In ceremony of Batak, what kind ceremony ? Prepare Ulos that you using must be befit with the ceremony.Mostly women do weaving, with using traditional weaving equipment.
Carve and Chisel Art Part of Sopo, Solu (Small Boat), ornament and other is sample of wood carve and chisel Art Batak. Carve and chisel art used three color's black, red, white make unique Batak carve and chisel.

Lake Toba
In first time, before Lake Toba exist, Toba area are consist of mountain and valey with small river.In that time live young man and the name is Toba and he work as a fisherman. One day Toba go to the river, for all day fishing but not one fish he get. Desperate cause it sunset and Toba throw his fishhook to the water, he was shock when he does get one fish a big one (Cyprinus carpio). With proudly he bring the fish and wanna go home.

But Toba shock when the fish talk to him said "Don;t bring to your home to eat me, but only keep me in the house in middle of farm, and you come again after three days". Toba surprise to look the fish can talk and doing what the fish said to him.
After three days, he goes to the farm and get in to the house, Toba really shock he show a beautiful lady with long hair not a fish. Surprised Toba ask the lady "Who are you and what are you doing in this house ??", and the lady said "My name is Nauli, Princess of water, sending by God to be human.".And Toba persuade the girl to be his wife. The girl said "I want to be your wife but you must promise. Whatever and what happen to our family in the next, that you will not said that i am a fish and if you broken i will return and back to my first time being a fish". Toba agree that he will keep promised. They have married and live in that house.For daily needed they do farming. And they are happy family. Not for long time they have one child and give the name Samosir.
One day when Samosir bring a lunch to his father at farm, Samosir have accident, he down and the food droped, now the food already dirty. But Samosir collecting all the food back and bring to his father. After arrived, Samosir call his father to get lunch, but he affraid to tell him the he get accident before he go to farm and the food was dirty.
When his father opened, he surprise Samosir bring a dirty food. And he angry to Samosir and said "Cause your are kid from fish, you bring to me dirty food.", Samosir crying that his father angry to him, and he go back his mom and make a report. Nauli crying too when her son Samosir tell to her. Nauli sad to Toba he broken promise, and Nauli hugging her son Samosir and tell him that all is true.
Nauli order Samosir to go to highland, this is consequence if your father Samosir broken his promise, i will return back as a fish. After Samosir already in highland, Nauli pray wishes God bring she return back, and the rain coming make flood in Toba area and it become Lake. Nauli was back to her life as a fish. And the lake become Lake Toba and highland where samosir going become Samosir Island.
Note :
Promise ( Padan : in Batak Language) is important word in this legend. Don't say promise if broken it next time, cause who broken promise can get disaster.

Sigale gale Puppet
Long time ago, one of kingdom in Toba order by a wisdom King. The King have only one son, the name is Manggale. In that era, often happen war between one kingdon and others.
And the King order his son go to battle agains enemy who want wrest our kingdom. In the middle of war, the son of the king was died, the only one son.
The King desperate remember his son, and the king was sick. Looking this situation that the King health become bad, and adviser of kingdom call a healer to give a medicine. Some of healer make opinion the King was longing for his son. The healer make motion to adviser, carve a wood make puppet face same like face Manggale, and the motion really do and carve wooden in forest. When puppet already finish, adviser of kingdom make ritual ceremony to bring the puppet Manggale to castle. The healer make ritual, playing Sordam and call Manggale spirit tobring in to the puppet. The puppet takes from forest with play Sordam and Gondang Sabangunan. The puppet already in catle, the King suddently come better and looks health when he see the puppet like a same with his son face.
This legend become puppet Sigale-gale (Puppet face same like the son of the King, name is Manggale).


Sigale-gale keep in one house in the forest. When the King longing for, so people do ritual to bring puppet Sigale-gale from forest to the castle.

Note :
Sordam dan Gondang Sabangunan playing to wishes blessing from spirit.

Climate & Weather
Located in the tropics, 2 degrees north of equator Samosir has a warm, sunny climate year around. The average temperature is about between 20o - 30o C. Cooling trade winds blow constantly.The rainy season, which is between October and February, is usually marked by short, occasional shower mostly at night, and continued sunny weather during the day.

Government
Samosir island situated in the middle of Lake Toba, North Sumatra. This island became as independent region from Toba Samosir since year 2003. The island is about 530 sq km in size, the island is as large as Singapore.Pangururan is the capital of Samosir. It is also home to the government ( the parliament).
The Central Government's jurisdiction covers mostly state affairs (legislation) and includes police, communications, taxation, public health, education, economic control, the establishment of enterprises, labor legislation, money and banking, and foreign currency.
The Island Government is responsible for the island territory affairs; it manages its own territorial affairs The island government is responsible for the infrastructure, harbors, etc.


Water
Are water Samosir Island safe and ready to drink ? No, tap water is not ready and safe to drink, it must boil first, into 1000C. Many houses in rural areas do not have water pipe from the Government agency (PD Air Minum). drill a well and pump water (with electrical water pump) into a water tank.
For alternative you can buy Aqua (mineral water) bottled water, in small sizes or in gallons.  
For information visit : DANONE AQUA

Currency
The local currency in Samosir Island is Rp which is abbreviated as Rupiah. Exchange rates may vary slightly at money changers and hotels.Credit cards are not accepted almost everywhere on the island, most of them accept only cash in rupiah. You need to bring cash money in to the island or you convert your money in to rupiah at the hotels or at the money changers in the island. ATM machine can be found in the main land Parapat, if you are already in Tuk Tuk. Samosir Island just take a boat and go to Parapat.


Drug Free Samosir
Are drugs allowed on Samosir Island? No, they are not ! Let there be no mistake about it — unlike in The Netherlands, even possession of the smallest amount of marijuana or other illegal drugs is ruled as a serious offense, and the Indonesian law is very strict about this. Customs officers check thoroughly and your vacation will definitely lead to our local jail.

Cultural
Tips Samosir Island is an Christian island, ninety nine percent of the citizen are christian. Here are some basics guides for going around in Samosir Island as well as in the whole Sumatra, not to offend the locals. When receiving and giving things, including money, always use the right hand, however inconvenient it can be at times. See bottom tip for reason. Use only the right hand for eating. Sumatrans generally use the hand to eat - no knife and fork. Rice is pinched into a ball and then pushed into your mouth with your thumb.
When eating with fingers, clean them in the water bowl provided. Wait until everyone has finished eating before you go to wash your hand. Placing your hands on the hips, even casually, is a sign of arrogance or anger. It is rude to place one's feet in such a way that the soles are facing another person. Take off your shoes when visiting someone's home. If a meal is spontaneously provided, it is impolite to refuse.
When leaving it is polite to thank the wife, even if she has spent all evening in the kitchen. Men touching men and women touching women is commonplace but touching between the sexes is rarely done in public. Burping is normal. Farting is not. Don't throw things to anyone. It is more polite to hand it over, even if it means moving.
Be prepared for squat toilets and no toilet paper! Most up market hotels have westernised toilets but the sewerage system still doesn't handle toilet paper and will generally clog the toilet making a mess. There will be a basket next to the toilet for the paper waste. Yes can get smelly so try the local way - the bucket of water next to the toilet.
The Sumatrans don't use toilet paper and think it uncleanly to just use toilet paper. There will always be a bucket of water with a ladle or a hose for cleaning yourself. The left hand is used for this purposed - therefore rude to pass things with the left hand. No tips on how best to do this. Just have to work it out yourself for best technique.
As a Sumatran man asked me - if someone slapped some shit on your forehead and then offered you some toilet paper to wipe it off or a bucket of water to clean it off which would you use???

Electricity
Electricity is 230 VAC at 50 Hz. You need external adapter if your devices have a different voltages. Mostly electricity outlet in Samosir Island have two round holes, see picture 1. Two Holes Outlet. Some hotel already instal there holes outlet for the alternate, see picture 2. Three holes outlet
You may want to bring a converter or buy locally. Many stores sell those converters. If you plan to bring computer, for example, you have to get a voltage stabilisator or a UPS.

What to Wear
Since temperatures are warm throughout the year, light, casual tropical wear is in order. When spend time out side, protect your self from the sun.
Overly revealing clothes and bathing suits are not appropriate, except on the beach. Even though it’s not common use, nor accepted everywhere, you may see European visitors sunbathing topless.If you plan on hiking in the countryside, wear sturdy shoes and long pants to protect your legs from the cacti and mosquito’s.

Tipping
Giving a tip is something we do to show our appreciation and gratuity for rendered services. We truly hope you will tip well, for this will mean you love your stay on our island!
Driving Laws
Driving takes place on the left-side of the street. You need to be careful when you drive along the road, because people walking (also jaywalking) on the streets or some animals like chicken and buffalo might run across the road too. BE WARE.
If you need some gasoline you wont find any gas station there, just buy the gasoline in the small shop which you can find them almost everywhere.
Most of the people who rent out their vehicle doesn’t have an insurance. Ask your vehicle agency what you should do in case of an accident. Usual procedure is if the vehicle has a damaged you need to pay the reparation, or change the spare parts. This is validly only if you drive the vehicle by your self. But if you are just a passenger, you don’t have responsibility for this kind of case.

Time Zone
Indonesia uses three time zones which are :
  1. Waktu Indonesia Bagian Barat (WIB) :
    • West Indonesia Time is officially known in Indonesia as Waktu Indonesia Bagian Barat (WIB). Waktu Indonesia Bagian Barat is UTC/GMT +7 hours.
  2. Waktu Indonesia Bagian Tengah (WITA) :
    • Central Indonesia Time is officially known in Indonesia as Waktu Indonesia Bagian Tengah (WITA) and as you might guess, Tengah means central. Waktu Indonesia Bagian Tengah is UTC/GMT +8 hours.
  3. Waktu Indonesia Bagian Timur (WIT) :
    • East Indonesia Time is officially known as Waktu Indonesia Bagian Timur (WIT) and in this situation, Timur means east. Waktu Indnosia Bagian Timur is UTC/GMT +9 hours.
So timezone Samosir Island same as Waktu Indonesia Barat (WIB).